Tajamnya terik matahari kali ini, membuatku bergegas. Antara kepanasan dan keinginan untuk cepat sampai ke tempat tujuan. Di antara rintihan terik matahari sinar kemilau sesekali memantul dari kaca-kaca spion, maupun kaca gedung. Lihatlah, berapa jiwa yang merasa enggan berada di tengah terik matahari ini. Ini bukan kali pertama aku melihat sekeliling. Keluh yang bercampur dengan peluh. Kesah yang berbaur dengan resah. Keinginan untuk segera berteduh seolah menjadi prioritas setiap pengguna jalan di bawah panggangan matahari yang hampir mencapai 40 derajat.
Panas...gerah.... Maka tak heran jika di perempatan lampu merah, banyak yang memilih mencari perlindungan dari teriknya matahari. Di samping bus, truk, kontainer, atau di bawah bayangan pohon perindang jika beruntung menemukannya. Saat panas begini, banyak yang berkata "Aduh, coba sepanjang jalan ini ada pohon-pohonnya. Kan enak adem, nggak kepanasan gini".
Belum lagi, saat segala jenis kendaraan bermesin itu mengeluarkan asapnya. Mulai dari yang paling ramah sampai asap yang hitam legam, seperti jelaga di balik penggorengan. Panas...gerah...masih tambah dengan asap pula. Saat seperti ini, masih saja banyak yang ngomong "Coba pohon-pohon pinggir jalan kemaren nggak ditebang semuanya, pasti lebih adem." Ah... sudahlah. Pohonnya terlanjur jadi kayu bakar di perapian.
Ini memang pilihan yang dilematis. Kendaraan makin banyak. Jalan makin terasa sempit. Pohon perindang di tepi jalan kenalah sebagai sasarannya. Habis ditebang, jalan diperlebar. Tuh, lihatlah... jalan makin lapang. Setidaknya bertambah dua meter lebarnya. Kalau urusan pohon, ya mau bagaimana lagi. Dia tidak punya tempat lagi di tepi jalan ini. Tidak ada sisa tanah yang mampu menampung akarnya.