29 Desember 2017

Gerah sudah

Tajamnya terik matahari kali ini, membuatku bergegas. Antara kepanasan dan keinginan untuk cepat sampai ke tempat tujuan. Di antara rintihan terik matahari sinar kemilau sesekali memantul dari kaca-kaca spion, maupun kaca gedung. Lihatlah, berapa jiwa yang merasa enggan berada di tengah terik matahari ini. Ini bukan kali pertama aku melihat sekeliling. Keluh yang bercampur dengan peluh. Kesah yang berbaur dengan resah. Keinginan untuk segera berteduh seolah menjadi prioritas setiap pengguna jalan di bawah panggangan matahari yang hampir mencapai 40 derajat.

Panas...gerah.... Maka tak heran jika di perempatan lampu merah, banyak yang memilih mencari perlindungan dari teriknya matahari. Di samping bus, truk, kontainer, atau di bawah bayangan pohon perindang jika beruntung menemukannya. Saat panas begini, banyak yang berkata "Aduh, coba sepanjang jalan ini ada pohon-pohonnya. Kan enak adem, nggak kepanasan gini".

Belum lagi, saat segala jenis kendaraan bermesin itu mengeluarkan asapnya. Mulai dari yang paling ramah sampai asap yang hitam legam, seperti jelaga di balik penggorengan. Panas...gerah...masih tambah dengan asap pula. Saat seperti ini, masih saja banyak yang ngomong "Coba pohon-pohon pinggir jalan kemaren nggak ditebang semuanya, pasti lebih adem." Ah... sudahlah. Pohonnya terlanjur jadi kayu bakar di perapian.

Ini memang pilihan yang dilematis. Kendaraan makin banyak. Jalan makin terasa sempit. Pohon perindang di tepi jalan kenalah sebagai sasarannya. Habis ditebang, jalan diperlebar. Tuh, lihatlah... jalan makin lapang. Setidaknya bertambah dua meter lebarnya. Kalau urusan pohon, ya mau bagaimana lagi. Dia tidak punya tempat lagi di tepi jalan ini. Tidak ada sisa tanah yang mampu menampung akarnya.

27 Desember 2017

Coretan cinta

"Apakah arti cinta bagimu?" Cinta hanyalah sepenggal kata yang mungkin tanpa makna. Namun bisa jadi sarat akan makna di lain pihak. Aku tak mau berandai-andai dengan cinta. Karena sesungguhnya cinta tak kan pernah mau mengerti. Cinta tak akan pernah mau tau apa sebenarnya arti dirinya. Bagiku cinta bukanlah apa-apa. Biarkan dia tetap menjadi sekedar kata.

Cinta adalah sahabat. Dia akan tetap ada sampai kapanpun. Bagiku, Kau adalah cinta yang tak dapat kumaknakan. Ada yang bilang cinta itu tak perlu disuarakan. Dalam diam pun cinta tetap mampu menembus keheningan. Tak perlu berkoar kesana kemari tentang cinta. Dan aku tetap memegang cinta itu dalam kesunyian. Dingin, dan tetap tak mampu kumaknakan dengan sempurna. Karena cinta ku tetap bersembunyi dalam angan.

Ada juga yang bilang, cinta adalah pengorbanan. Bukan hanya kesenangan belaka. Ada kalanya, dia perlu dinyatakan dalam tangisan dan kesenduan lainnya. Aku melepaskanmu bukan demi keegoan. Inilah cintaku yang tak pernah mampu kuhilangkan. Kau memang tak bersamaku. Aku tak ingin menjadi sosok yang memelihara keegoan terlalu lama. Pergilah kemana seharusnya kau pergi. Namun, kumohon jangan Kau suruh aku mengenyahkan cinta ini. Aku tak akan mengganggumu lagi.

Bahagiamu adalah cintaku yang tak mampu ku ungkapkan. Kau tak perlu lagi berbalik kesini. Tempatmu memang bukan disini. Pergilah padanya,... ada Dia di depanmu. Aku hanyalah sepotong kenangan bagimu. Bulan, tahun telah berlalu. Hingga kutuliskan ini sebagai ungkapan yang tak mampu kusampaikan langsung. Aku hanya menuliskan cintaku pada selembar angan yang kuharap akan terbawa angin. Hingga sampai pada mimpimu.

Bahagiamu adalah cintaku yang tak terlukiskan di kanvas apapun. Karna aku sudah tak lagi mampu temukan kanvas untuk melukis. Bahkan sekedar melukis namamu. Aku hanya mampu melukiskannya di angan, yang sekali lagi kuharap akan terbawa angin hingga ke mimpimu.

Kasih... ah, tak pantas rasanya ku gunakan kata itu. Karena Kau hanyalah anganku. Aku pernah berkata padamu, dalam pertemuan terakhir kita. Aku akan selalu mencintaimu dalam diam. Kesunyian adalah temanku, dan diamku adalah caraku untuk tetap mengenangmu.

Inilah jalan yang harus kita tempuh. Walaupun terkadang aku selalu saja mengatakan, "Mengapa kita harus bertemu?" Wajarkan jika Aku mengatakannya. Aku penuhi keinginanmu. Bertahun-tahun tanpa menghubungimu. Aku berusaha agar tidak tahu dan tidak mau tahu apa yang terjadi denganmu. Hingga di suatu titik tertentu, saat keheningan tak lagi mau menjadi temanku. Saat diam tak lagi mau menjadi perwakilan dari cintaku. Tapi Kau tak perlu gelisah. Aku hanya mampu menuliskan rangkaian kata ini. Aku tak kan mungkin bisa mengatakan apapun lagi padamu. Tidak juga kepadanya.

Selamanya Aku tetap akan mencintaimu dalam diam.

20 September 2017

Kebahagiaan dan Kesuksesan

Manakah sebenarnya yang lebih tepat? Kebahagiaan akan membawa kesuksesan ataukan kesuksesan akan membawa kebahagiaan.

Dua kalimat itu terdiri dari empat kata yang sama. Hanya penempatannya saja yang berbeda. Perbedaan penempatan ini ternyata memiliki makna yanh jauh berbeda. Jika Anda memegang kalimat "kesuksesan akan membawa kebahagiaan" selamat, Anda termasuk orang yang akan terus berjuang dalam mencapai sesuatu. Kesuksesan dapat diukur dari banyak hal. Kepintaran, kekayaan, atau yang lainnya.

Seorang pelajar yang lulus dalam ujian dan memperoleh nilai yang bagus, sudah pasti akan mengatakan "Aku sukses ujian" sambil tertawa lebar ataupun tersenyum simpul. Pedagang yang  kelarisan dan mendapatkan keuntungan berlimpah juga pasti akan mengatakan "Hari ini jualanku sukses" dengan senyuman mengembang di bibir. Ini berarti kesuksesan telah membawa kepada kebahagiaan.

Sekarang bagaimana halnya dengan Anda yang memilih kebahagiaan akan membawa kesuksesan. Anda tidak salah. Maka Selamat juga bagi Anda. Karena termasuk dalam golongan orang-orang yang akan terus memilih berparas bahagia daripada bermuka masam. Pandangan ini menyatakan bahwa kebahagiaan bukan sebagai akibat dari suatu tindakan, melainkan dialah yang berfungsi sebagai pemicu untuk akibat lainnya. Kebahagiaan harus diciptakan sejak awal.

Saat kita telah merasa bahagia akan segala hal. Menjadi mudah untuk mencapai lainnya. Saat belajar dengan perasaan senang, akan lebih mudah menyerap materi, daripada belajar dalam suasana hayi yang sedih, panas, atau perasaan negatif lainnya. Kesenangan akan belajar bisa menjadi kecintaan. Berasal dari rasa sennag inilah, maka kesuksesan akan menyusul kemudian.

Kembali kepada kalimat pembuka tulisan ini. Maka tak ada yanh salah pada keduanya. Setiap mereka memiliki maknanya sendiri. Kita hanya perlu menentukan pilihan. Kalaupun masih bimbang untuk satu hal, setidaknya kita bisa lebih memahami pemaknaan kata bahagia.

8 September 2017

Masih Tentang Penulis

Dunia literasi sedang menjadi perbincangan hangat. Ada apa gerangan? Bagi para penikmat novel penulis keren Tere Liye, harus bersiap-siap untuk kehilangan tulisan versi cetaknya. Menyusul keputusannya untuk menarik 28 nasakhnya dari penerbit. Sudah pasti, tidak akan ada lagi cetak ulang novel-novel tersebut, hingga jangka waktu yang tidak diketahui.

Keputusan Tere Liye ini berkaitan dengan melonjaknya pajak royalti penulis. Pajak royalti sebesar 30% bagi penulis tanpa NPWP dan 15% bagi yang ber NPWP. pajak sebesar itu terasa sangat mencekik. Penulis sekelas Tere Liye dengan novel-novel best sellernya saja memutuskan untuk tidak lagi menerbitkan. Bagaimana dengan penulis-penulis pemula? Royalti yang diterima enam bulan sekali belum tentu genap satu juta rupiah, sebelum terkena pajak 15%. Setelah terkena pajak, bisa dihitung berapa pendapatan penulis pemula, apalagi yang tidak ber NPWP.

Ungkapan protes terhadap pajak royalti tidak hanya muncul dari Tere Liye saja. Sebutlah Dee Lestari, penulis novel ini juga mengungkapkan keberatannya atas besarnya pajak penulis. Akun-akun penulis di dunia maya, banyak yang mengeluhkan persoalan pajak royalti ini. Dee menuliskan secara gamblang mengenai perbandingan pajak royalti penulis dengan pajak profesi lainnya.

Tere Liye bisa jadi hanyalah satu dari sekian banyak penulis yang mengemukakan protesnya, dan langsung menjadi berita yang viral. Seperti gunung es. Bisa jadi keputusan Tere Liye ini nantinya akan diikuti oleh penulis-penulis lainnya. Betapa pun pajak sebesar 15% itu sangat mencekik penulis.

8 Agustus 2017

Dari Imunisasi Hingga Nonton Film


Ada yang berbeda di SD Negeri 1 Tangkil, hari ini 8 Agustus 2017. Pagi tadi sekitar pukul 08.30 sekolah yang terletak di Lereng Gunung Merapi, tepatnya di Desa Tangkil, Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten kedatangan tamu dari beberapa institusi. 

Tamu pertama, adalah rombongan Bapak Kapolsek Kecamatan Kemalang. Rombongan ini kemudian diikuti oleh sejumlah polisi wanita (polwan) polsek Klaten. Rombongan kedua, berasal dari puskesmas Kecamatan Kemalang. Menyusul rombongan ketiga adalah Mahasiswa Universitas Widya Dharma Klaten. 

Kemeriahan SD Negeri 1 Tangkil pada hari ini, bukan tanpa alasan. Secara kebetulan tanggal 8 Agustus 2017 merupakan jadwal bagi siswa-siswi untuk menerima imunisasi campak rubella. Pemberitahuan mengenai jadwal ini telah disampaikan oleh pihak puskesmas kecamatan Kemalang seminggu sebelumnya. Pihak sekolah pun telah menginfokan kepada seluruh siswa agar mengikuti kegiatan imunisasi ini. 

Semenjak pagi telah ada beberapa wali murid yang memang sengaja menunggui putra-putrinya. Sebagian besar adalah wali murid kelas 1. Saat petugas puskesmas datang, berbagai ekspresi muncul dari para siswa. Mulai dari yang biasa-biasa saja, ketakutan, hingga lari ke lapangan belakang sekolah. 

Satu persatu setiap siswa menerima suntikan imunisasi camapak rubella. Siswa yang telah menerima imunisasi akan diberi tanda pada jari tangannya. Pada kesempatan yang sama, pagi tadi setelah semua siswa menerima imunisasi dilanjutkan dengan acara dari para polwan Kepolisian sektor Klaten. 


Para polwan ini datang ke sekolah guna mengkampanyekan pentingnya imunisasi bagi anak-anak. Selain kampanye, kunjungan ini juga dilaksanakan dalam rangka hari jadi polwan yang ke-69. Acara kampanye dari kepolisian diakhiri dengan kemeriahan foto bersama fan pembagian doorprise untuk semua siswa. 

Kemeriahan di SD Negeri 1 Tangkil, imunisasi

4 Agustus 2017

Dendam Rinduku

Tuhan,...
Dalam redup malamMu
Tak ada kata yang mampu menghapus dukaku
Tak pula kesendirianku saat bersamaMu

Tuhanku,...
Tubuhku ini bukanlah milikku
Nyawaku ada di tanganMu
Apa lagi yang kupunya selain pengharapan

Tuhanku,...
Jika tiba Kau panggil aku
Kuingin Kau penuhi satu pintaku
Tuk melihat wajah kekasihku

Tuhanku,...
Kasihku mengembara di alamMu
Tak ada sambutan tanggannya
Pun senyum manisnya

Tuhanku,...
Dalam teduh malamMu
Kuingin bercengkerama denganMu
Melepaskan dendam rinduku


Jogja, Agustus 2017

Main Jujur-jujuran

"Aku kecewa", cuma itu sebenarnya yang menjadi awal mulanya. Kau telah dapatkan apa yang kau inginkan. Namun aku, belum merasa terpenuhi apa yang menjadi keinginanku.

Sebagian kalian mungkin akan berfikir, "Manusia itu memang nggak ada puasnya sama sekali yah."

"Its true." Aku nggak menyangkal akan hal ini. Tapi tahukan kalian, kalah aku benar-benar kecewa. Sebagian besar manusia pasti mengidamkan timbal balik. Seperti apapun bentuknya.

Pentingkah timbal balik dalam sebuah hubungan? Baik hubungan profesional maupun personal? Jawabnya adalah "Yes" sangat penting. Ini bukan berarti memungkiri dan mengesampingkan istilah "ikhlas tanpa pamrih" beda lho.

Ikhlas sih ikhlas, tapi tetap harus ada komitmen dan arah yang jelas dalam sebuah hubungan. Contohnya nih, dalam hubungan profesional, nggak akan mungkin seseorang mau bekerja gitu saja tanpa mengharapkan adanya timbal balik, yakni upah, honor, atau gaji.

Dalam hubungan personal pun begitu. Pasangan yang baik justru harus punya rasa timbal balik itu. Kalau nggak ada, malah bisa-bisa ancur di tengah jalan. Lalu say good bye. Bagaimana halnya jika salah satu merasa telah memberikan apa yang pasangannya minta, namun dia sendiri tidak mendapatkan apa-apa dari pasangannya? Tetap ada dua kemungkinan jawaban.

Pertama, pasangannya memang nggak "ngggeh" sama keinginan tersebut. Bida jadi ada miss com alias salah paham diantara mereka. Perempuan lebih suka menggunakan bahasa kiasan atas keinginannya. Misalnya nih ya, "Mas, tahu nggak ada buku baru yang bagus lho di gramedia, kemaren dapat info dari temen lagi ada diskonan tuh disana." Kalimat ini menandakan si wanita itu pengin diajak jalan-jalan ke gramedia lalu dibelikan buku. Tapi nih ya,.... Laki-laki mah, mana tahu kalau begitu?

Kalau kasus ini terjadi, dan ternyata pasanganmu nggak ngerti yang dimaksud biasanya si wanita terus ngambek. Contoh lagi nih, bahasa kiasan dari wanita. "Lagi nggak mau diganggu." Itu kata-kata baik secara langsung maupun lewat HP, artinya hampir sama bagi setiap wanita. Pasangnnya kudu peka. Sekeras apapun dia mengatakan kalimat tersebut, dia tetap mengharapkan sapaan dari pasangannya.

Itulah wanita, bahasa kiasan yang nggak dimengerti laki-laki seringkali menjadi bahan mentah yang siap saji dalam waktu lebih cepat daripada membuat mie instan, untuk matang. Kalau sudah tersaji, maka sajiannya adalah ngambeknya si wanita.

Kedua, si laki-laki sudah tahu keinginan pasangannya, tapi nggak mau ngasih. Alasannya bisa macam-macam, bergantung kepada situasi yang berlangsung.

Kedua hal di atas, bisa menimpa siapa saja, mulai dari pasangan yang baru tadi jadian sampai pasangan yang sudah tahunan.

Intinya, just comunication. Hanya komunikasi yang bisa bikin cair suasana. Jangan main gengsi-gengsian. "Nggak lah, mosok aku terus yang minta maaf." Ini nih, yang bisa bikin tambah parah suasana.

Jangan segan untuk minta maaf dulu. Lebih pekalah kepada pasangan. Buat yang laki-laki, ingat selalu kalau wanita itu sering menyamar dalan kalimat yang diucapkannya. Jangan jadi orang Lamongan terus, yang konon katanya nggak kenal basa-basi. Kalau sudah urusan pasangan gini, harus mau belajar kepada orang Jogja yang lebih sering menggunakan kata basa-basi.

Semoga ada yang tersinggung dengan tulisan ini. Walau hanya sekedar tulisan tak bermakna.

3 Agustus 2017

Akreditasi sekolah, Prestasi atau Prestise



Setiap lembaga pendidikan pasti akan mengalami akreditasi, untuk mendapatkan pengakuan. Baik pengakuan dari masyarakat bahwa sekolah tersebut benar-benar ada. Maupun pengakuan dari pemerintah. Akreditasi adalah kegiatan yang dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan non formal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan berdasarkan kriteria yang bersifat terbuka. Kelayakan sebuah lembaga pendidikan akan ditentukan oleh sebuah lembaga akreditasi yakni Badan Akreditasi Nasional (BAN). Untuk tingkat sekolah/madrasah terdapat Badan Akreditasi Sekolah/Madrasah (BAN-S/M) sedangkan pada tingkatan Perguruan tinggi terdapat Badan Akreditasi Perguruan Tinggi (BAN-PT).

Akreditasi sekolah akan dilakukan secara berkala yakni dalam jangka waktu 5 tahun. Setiap 5 tahun lembaga pendidikan mau tidak mau akan menghadapi kenyataan unutk mengikuti penilaian sesuai prosedur yang telah ditetapkan oleh BAN. “Pada tahun 2017, akan dialokasikan sekitar 30.000 sekolah/madrasah untuk diakreditasi melalui APBN Kemdikbud tahun 2017. Hal ini disampaikan Abdul Mu’ti, Ketua Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN-S/M) pada kegiatan Pembukaan Rakornas I BAN-S/M dan BAP-S/M Tahun 2017 di Hotel Shantika Bintaro, Tangerang Selatan. Rakornas akan berlangsung selama tiga hari dari tanggal 5 sampai 7 Februari 2017 dengan peserta sebanyak 136 orang berasal dari pengurus Badan Akreditasi Provinsi Sekolah/madrasah (BAP-S/M) seluruh Indonesia”(menara62.com).

BAN-S/M telah menentukan standar penilaian dalam perangkat akreditasi. Tahun 2017 ini proses akreditasi Sekolah/Madrasah mengalami sedikit perubagahn dalam perangkatnya. Perangkat akreditasi yang dahulu masih berdasarkan standar kurikulum 2006, tahun ini berganti mengikuti standar kurikulum 2013. Jumlah komponen pun mengalami perubahan, menjadi 119 komponen yang terbagi dalam delapan standar, yang meliputi standar isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga pendidik, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian.

Kedelapan standar ini memiliki kriteria sendiri-sendiri yang nantinya akan menentukan nilai setiap komponennya. Nilai akhir dari akreditasi ini lah yang nantinya akan menentukan layak dan tidaknya sebuah lembaga pendidikan. Kriteria penilaian yang digunakan oleh BAN-S/M tahun ini pun mengalami sedikit perbedaan. Peringkat A (unggul) harus mendapatkan nilai antara 91-100, peringkat B (baik) dengan nilai  81 – 90, peringkat C (cukup) dengan nilai 71 – 80. Sekolah/Madrasah yang mendapatkan nilai di bawah itu maka tidak akan terakreditasi.

Peringkat kreditasai pada sebagian besar sekolah merupakan sebuah sarana yang sangat urgent dalam ajang promosi sekolah. Tidak jarang sekolah yang membuat brosur dengan menampilkan nilai akrediatasinya. Sekolah-sekolah di daerah perkotaan akan menganggap sangat penting niali akreditasi. Karenan persaingan perebutan siswa baru di daerah perkotaan sangat dipenbgaruhi oleh nilai ini. Orangtua siswa tetap akan mempertimbangkan nilai akreditasi sekolah untuk memasukkan anaknya. Bagi sebagian besar orangtua di perkotaan, sekolah dengan peringkat akreditasi A, pasti memiliki fasilitas dan pelayanan pendidikan yang lebih baik dari pada sekolah dengan peringkat akreditasi di bawahnya.

Kondisi ini tidak banyak berlaku pada sekolah-sekolah di daerah pinggiran, terlebih pelosok. Masyarakat di daerah pinggiran atau pelosok tidak akan pernak memusingkan peringkat akreditasi sebuah sekolah. Bagi mereka sekolah yang berjarak dekat akan lebih dipilih daripada sekolah yang jauh. Pertimbangan jarak, menjadi pertimbangan utama mengingat transportasi yang ada untuk mencapai sekolah.

Bagi sekolah sendiri, saat menghadapi akreditasi akan menjadi boomerang. Sekolah yang memang menginginkan peringkat A harus benar-benar siap dengan segala sesuatunya. Baik dari segi administasi, pembiayaan maupun pelaksanaannya. Sekolah yang akan melaksanakan akreditasi akan disodorkan perangkat evaluasi diri sekolah. Dari perangkat inilah akan terlihat segala yang dimiliki oleh lembaga. Ada satu kenyataan yang sampai sekarang berkembang di sekolah. Saat mengisi evaluasi diri sekolah menginginkan nilai A, sehingga tidak melihat kenyataan di sekolahnya.

Hal ini lah yang nantinya justru akan menjadi boomerang bagi sekolah, utama kepala sekolah yang berperan penting sebagai manajer sekolah. Ketika tim akreditasi melaksanakan visitasi, maka akan terlihat kenyataan yang tidak sesuai dengan apa yang dituliskan dalam evaluasi diri sekolah. Bahkan ada kepala sekolah yang mengidam-idamkan nilai A, namun tidak melihat kenyataan di skeolah yang hanya memiliki kemampuan pada peringkat B. keinginan yang berlebih ini menjadi baik, jika dibarengai dengan kekuatan lain dari guru unutk mempersioapkan segala sesuatunya. Namun sepertinya bukan hal yang tabu lagi jika mendongkrak nilai akreditasi dengan cara yang kurang etis pun sering kali ditemui.


Jika peringkat akreditasi telah didapatkan dengan cara yang demikian, masihkah akan ada anggapan bahwa nilai akreditasai adalah sebuah prestasi. Sudah semestinya mengaca kembali, bagi pelaku pendidikan khususnya. Haruskah mencari nilai akreditasi dengan cara yang tidak sepatutnya demi sebuah prestise?

23 Mei 2017

Mahasiswa "Cuci Gudang"

Apa yang terpikirkan saat mendengar kata “cuci gudang”? Harga murah, diskon, barang lama, harga miring. Setidaknya itulah yang akan terbersit dalam benak. Cuci gudang memang identik dengan diskon, dan harga murah. Pada dasarnya istilah cuci gudang dikenal dalam istilah perdagangan. Dalam dunia perniagaan, cuci gudang  memiliki pengertian menjual barang yang menumpuk di gudang dengan berbagai macam strategi penjualan. Harga jual barang cuci gudang tidak selalu murah. Bisa jadi lebih mahal. Karena pada dasarnya cuci gudang adalah mengeluarkan barang yang menunpuk di gudang. Barang ini ada di gudang, bisa jadi karena tidak laku pada suatu masa, namun akan laku lagi dimasa yang lain.
Lantas, saat istilah “cuci gudang” ini disandingkan dengan kata mahasiswa, apa yang terpikirkan? Yups... bisa jadi apa yang ada di benak kita nyaris sama. Anak kuliahan yang sudah lama studinya tapi belum lulus juga. Pertanyaan berikutnua, memangnya ada ya mahasiswa cuci gudang? Dipungkiri atau tidak fakta berbicara, “that’s true” ada. Mari kita lihat ke sebuah kampus. Menurut wawancara yang telah saya lakukan beberapa hari yang lalu, dalam sebuah fakultas sedikitnya ada 5-10 mahasiswa berpredikat ini. Mari kita samakan dulu persepsi kita mengenai mahasiswa cuci gudang ini. Ini adalah mahasiswa yang sudah memasuki semester akhir, bahkan terancam dikeluarkan karena terlalu lama ngurus tugas akhir dan belum kelar-kelar juga.
Ternyata, predikat ini bukan hanya ada pada mahasiswa strata 1 (S1) saja. Sampai jenjang strata 3 (S3) pun ada. Pada jenjang S1 normalnya seorang mahasiswa mengikuti masa studinya selama 8-10 semester. Namun, kenyataannya ada yang sampai semester 14 alias 7 tahun baru lulus. Jenjang S2 sampai 8 semester baru rampung. Dan jangan dikira pada jenjang S3 tidak ada, justru lebih parah lagi karena ada mahasiswa S3 yang mulai masuk tahun 2013 dan hingga kini disertasinya masih mandeg di tengah jalan.
Fenomena (kalo boleh menyebutnya) ini memang banyak hal yang menjadi latar belakangnya. Mahasiswa S1 kebanyakan dikarenakan sibuk beraktivitas dalam suatu organisasi, lantas menjadi lupa akan tugas utamanya dalam menempuh studi. Ada pula yang mengatakan merasa malas saat menyusun skripsi, terlebih saat mendapatkan dosen pembimbing yang “perfectionis” namun sangat susah ditemui.
Pada jenjang S2 dan S3 persoalannya sedikit berbeda. Sebagian besar mahasiswa S2/S3 adalah pegawai baik negeri maupun swasta,  telah memiliki pekerjaan, dan telah memiliki tanggungan keluarga (sudah menikah). Maka pada kasus mahasiswa pascasarjana, ini lebih banyak dikarenakan faktor kesibukan kerjaan. Menemukan waktu yang tepat bagi mahasiswa untuk bertemu dosen pembimbing menjadi hal yang sedikit rumit. Terlebih bagi mahasiswa yang juga pekerja dengan jam kerja dan jadwal yang padat. Maka tak heran jika urusan kuliah harus dinomorduakan.
Tak pernah ada yang menyalahkan predikat ini. Toh pada akhirnya mereka juga akan menyandang gelar sarjana, magister atau doktor sekalipun. Apakah mahasiswa cuci gudang ini dapat dikatakan memiliki kualitas yang kurang dibandingkan dengan mahasiswa yang normal. Jawabnya tentu saja tidak. Mengingat banyak faktor yang menjadi penyebabnya tadi.
Menjalani sebuah studi lanjutan di perguruan tinggi adalah sebuah pilihan. Saat akan masuk, tentu bukan hanya sekedar ikut-ikutan saja biar sama dengan temannya. Jika ini sampai terjadi, tamatlah sudah. Memilih sebuah studi tentu harus diikuti dengan kesiapan segalanya. Siap terikat dengan mata kuliah, dosen, waktu kuliah, biaya, dan sebagainya. Tata aturan yang sedikit berbeda dengan sekolah menengah, menjadikan suatu tantangan tersendiri bagi mahasiswa tingkat S1.
Menjadi agak sulit pada mahasiswa sarjana/pascasarjana yang notabenenya juga sebagai pegawai. Ada dua sisi yang sama-sama ingin diperjuangkan. Studi dan pekerjaannya. Keduanya harus berjalan dengan baik. Bagaimanapun juga studi akan berdampak pada pekerjaannya, jika itu sebuah profesi yang memang menuntut adanya persyaratan kualifikasi pendidikan. Begitupun pekerjaannya akan berdampak pada studinya. Karena biaya studi tidak lain juga didapat dari gaji pekerjaannya.
Kerumitan demi kerumitan inilah yang kemudian menjadikan seorang mahasiswa dalam tingkatan apapun memutuskan untuk mengambil cuti bersemester-semester. Sekali lagi tak ada yang dapat menyalahkannya. Selama masih ada jalan tengah untuk merampungkan studi dengan cepat, maka itulah yang terbaik untuk dilakukan. Jika persoalan ada pada saat penyusunan karya akhir baik skripsi, tesis, maupun disertasi maka akan lebih baik jika segera merampungkan dari pada terus menerus menunda. Dosen pembimbing yang terlalu ideal, suatu saat juga akan luluh hatinya jika terus didekati. Mencari celah diantara waktu kerja untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliah tetap menjadi pilihan bagi mahasiswa yang juga pekerja.
So,... menjadi mahasiswa dengan predikat normal atau cuci gudang adalah pilihan kita sendiri. Menyerah dengan keadaan dan berputus asa hanya gara-gara tugas akhir yang tidak kelar-kelar tentu bukan pilihan yang bijak.

#menyemangati anggota ODOP yang lagi nyusun skripsi, tesis, maupun disertasi.

Mahasiswa "Cuci Gudang"

Apa yang terpikirkan saat mendengar kata “cuci gudang”? Harga murah, diskon, barang lama, harga miring. Setidaknya itulah yang akan terbersit dalam benak. Cuci gudang memang identik dengan diskon, dan harga murah. Pada dasarnya istilah cuci gudang dikenal dalam istilah perdagangan. Dalam dunia perniagaan, cuci gudang  memiliki pengertian menjual barang yang menumpuk di gudang dengan berbagai macam strategi penjualan. Harga jual barang cuci gudang tidak selalu murah. Bisa jadi lebih mahal. Karena pada dasarnya cuci gudang adalah mengeluarkan barang yang menunpuk di gudang. Barang ini ada di gudang, bisa jadi karena tidak laku pada suatu masa, namun akan laku lagi dimasa yang lain.
Lantas, saat istilah “cuci gudang” ini disandingkan dengan kata mahasiswa, apa yang terpikirkan? Yups... bisa jadi apa yang ada di benak kita nyaris sama. Anak kuliahan yang sudah lama studinya tapi belum lulus juga. Pertanyaan berikutnua, memangnya ada ya mahasiswa cuci gudang? Dipungkiri atau tidak fakta berbicara, “that’s true” ada. Mari kita lihat ke sebuah kampus. Menurut wawancara yang telah saya lakukan beberapa hari yang lalu, dalam sebuah fakultas sedikitnya ada 5-10 mahasiswa berpredikat ini. Mari kita samakan dulu persepsi kita mengenai mahasiswa cuci gudang ini. Ini adalah mahasiswa yang sudah memasuki semester akhir, bahkan terancam dikeluarkan karena terlalu lama ngurus tugas akhir dan belum kelar-kelar juga.
Ternyata, predikat ini bukan hanya ada pada mahasiswa strata 1 (S1) saja. Sampai jenjang strata 3 (S3) pun ada. Pada jenjang S1 normalnya seorang mahasiswa mengikuti masa studinya selama 8-10 semester. Namun, kenyataannya ada yang sampai semester 14 alias 7 tahun baru lulus. Jenjang S2 sampai 8 semester baru rampung. Dan jangan dikira pada jenjang S3 tidak ada, justru lebih parah lagi karena ada mahasiswa S3 yang mulai masuk tahun 2013 dan hingga kini disertasinya masih mandeg di tengah jalan.
Fenomena (kalo boleh menyebutnya) ini memang banyak hal yang menjadi latar belakangnya. Mahasiswa S1 kebanyakan dikarenakan sibuk beraktivitas dalam suatu organisasi, lantas menjadi lupa akan tugas utamanya dalam menempuh studi. Ada pula yang mengatakan merasa malas saat menyusun skripsi, terlebih saat mendapatkan dosen pembimbing yang “perfectionis” namun sangat susah ditemui.
Pada jenjang S2 dan S3 persoalannya sedikit berbeda. Sebagian besar mahasiswa S2/S3 adalah pegawai baik negeri maupun swasta,  telah memiliki pekerjaan, dan telah memiliki tanggungan keluarga (sudah menikah). Maka pada kasus mahasiswa pascasarjana, ini lebih banyak dikarenakan faktor kesibukan kerjaan. Menemukan waktu yang tepat bagi mahasiswa untuk bertemu dosen pembimbing menjadi hal yang sedikit rumit. Terlebih bagi mahasiswa yang juga pekerja dengan jam kerja dan jadwal yang padat. Maka tak heran jika urusan kuliah harus dinomorduakan.
Tak pernah ada yang menyalahkan predikat ini. Toh pada akhirnya mereka juga akan menyandang gelar sarjana, magister atau doktor sekalipun. Apakah mahasiswa cuci gudang ini dapat dikatakan memiliki kualitas yang kurang dibandingkan dengan mahasiswa yang normal. Jawabnya tentu saja tidak. Mengingat banyak faktor yang menjadi penyebabnya tadi.
Menjalani sebuah studi lanjutan di perguruan tinggi adalah sebuah pilihan. Saat akan masuk, tentu bukan hanya sekedar ikut-ikutan saja biar sama dengan temannya. Jika ini sampai terjadi, tamatlah sudah. Memilih sebuah studi tentu harus diikuti dengan kesiapan segalanya. Siap terikat dengan mata kuliah, dosen, waktu kuliah, biaya, dan sebagainya. Tata aturan yang sedikit berbeda dengan sekolah menengah, menjadikan suatu tantangan tersendiri bagi mahasiswa tingkat S1.
Menjadi agak sulit pada mahasiswa sarjana/pascasarjana yang notabenenya juga sebagai pegawai. Ada dua sisi yang sama-sama ingin diperjuangkan. Studi dan pekerjaannya. Keduanya harus berjalan dengan baik. Bagaimanapun juga studi akan berdampak pada pekerjaannya, jika itu sebuah profesi yang memang menuntut adanya persyaratan kualifikasi pendidikan. Begitupun pekerjaannya akan berdampak pada studinya. Karena biaya studi tidak lain juga didapat dari gaji pekerjaannya.
Kerumitan demi kerumitan inilah yang kemudian menjadikan seorang mahasiswa dalam tingkatan apapun memutuskan untuk mengambil cuti bersemester-semester. Sekali lagi tak ada yang dapat menyalahkannya. Selama masih ada jalan tengah untuk merampungkan studi dengan cepat, maka itulah yang terbaik untuk dilakukan. Jika persoalan ada pada saat penyusunan karya akhir baik skripsi, tesis, maupun disertasi maka akan lebih baik jika segera merampungkan dari pada terus menerus menunda. Dosen pembimbing yang terlalu ideal, suatu saat juga akan luluh hatinya jika terus didekati. Mencari celah diantara waktu kerja untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliah tetap menjadi pilihan bagi mahasiswa yang juga pekerja.
So,... menjadi mahasiswa dengan predikat normal atau cuci gudang adalah pilihan kita sendiri. Menyerah dengan keadaan dan berputus asa hanya gara-gara tugas akhir yang tidak kelar-kelar tentu bukan pilihan yang bijak.

#menyemangati anggota ODOP yang lagi nyusun skripsi, tesis, maupun disertasi.

2 Mei 2017

Kado Hardiknas

Kado Hardiknas,

Dua mei selalu diperingati sebagai hari pendidikan nasional. Ada yang istimewa pada harsiknas tahun 2017 kali ini. Tahun ini hardiknas sekaligus menjadi hari yang dinantikan oleh siswa-siswi SMA/SMK kelas XII. Setelah melalui perjuangan yang panjang dalam Ujian Nasional hari ini adalah hari pengumuman kelulusan. Lulus atau tidaknya mereka telah ditetapkan. Tinggal bagaimana mereka menyikapinya. Senang itu pasti menjadi ungkapan yang akan terlontar bagi mereka yang dinyatakan LULUS. Namun sebaliknya kecewa bahkan marah bisa jadi adalah luapan emosi dari mereka yang dinyatakan Tidak Lulus.
Seperti telah menjadi tradisi, pengumuman kelulusan selalu dibarengi dengan acara-acara pengekspresian kegembiraan. Konvoi, coret-coret baju seragam, hingga party yang berlebihan. Berbagai cara telah dilakukan oleh pihak sekolah untuk menekan kegiatan-kegiatan tersebut. Mulai dari pengumuman lewat surat, pengumuman lewat orang tua wali siswa, hingga adanya kegiatan renungan di sekolah. Itu semua dilakukan semata untuk menekan dampak buruk yang akan diakibatkan oleh adanya aksi coret baju maupun konvoi.
Pengumuman kelulusan siswa SMA/SMK tahun ini pun ternyata tak luput dari aksi coret baju seragam dan konvoi. Himbauan dan larangan dari sekolah seolah tak lagi digubris oleh mereka yang sedang mengekspresikan kegembiraannya. Ekspresi kegembiraan kelulusan siswa SMA/SMK kali ini seolah sengaja dibarengkan dengan peringatan hari pendidikan nasional. Ini adalah kado besar bagi bangsa ini.
Namun ternyata, kegembiraan kelulusan ini tiba-tiba saja menjadi berita duka yang mencoreng nama pendidikan. Klaten, dua mei 2017 sore sekitar pukul 15.30 konvoi kelulusan telah dilakukan ol3h siswa dari berbagai SMA/SMK. Pertemuan dua rombongan dari sekolah yang berbeda tentu saja tak dapat dihindarkan. Selanjutnya yang terjadi adalah tawuran, dan salibg serang. Bahkan ada siswa yang membawa senjata tajam. Tercatat sedikitnya 5 siswa terluka dalan insiden ini. Entah apa yang menjadi pemicu utamanya.
Luapan kegembiraan kelulusan, sejenak kemudian telah berubah menjadi luapan kemarahan dan tindakan anarkhis. Entah apa yang ada dalam pikiran anak-anak muda ini. Kegembiraan yang semestinya mereka rayakan, berubah menjadi kedukaan dalan sekejab. Luka yang cukup parah karena sabetan senjata tajam, lemparan botol, maupun batu mengharuskan menikmati kelulusan di ruang rumah sakit. Beberapa dari mereka yang terlibat tawuran pun diamankan oleh pihak kepolisian.
Sungguh tragedi ini memilukan hati kami para pelaku pendidikan yang pada hari ini menperingati hari pendidikan nasional. Ini adalah kado bagi kami para guru untuk terus menilik diri. Juga kado bagi kalian para siswa agar selalu mengingat.
#Hari pendidikan nasional
#02 Mei 2017

Mengintip Secuil Problematika Pendidikan Indonesia

Pendidikan bukanlah kata yang asing bagi telinga siapapun. Pun bagi seorang awam. Pendidikan sudah lazim didengar. Hanya saja pemaknaan kata pendidikan bagi sebagian orang bisa jadi sangat berbeda dengan sebagian yang lain. bagi orang awam akan menjadi biasa jika menyamakan pendidikan dengan sekolah. Bagi para siswa pendidikan sama halnya dengan belajar. Bagi para taruna pendidikan sama halnya dengan latihan. Pemaknaan yang berbeda-beda ini terjadi bukan tanpa alasan. Karena setiap orang memiliki keterbatasan dan pengalaman sendiri-sendiri, sehinga dalam pengartian sebuah kata pun akan senantiasa diakaitkan dengan apa yang menjadi tugas, kebiasaan, dan pengalaman mereka sendiri.

Lantas apa sebenarnya pendidikan itu? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2000), pendidikan adalah: 1) proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia  melalui upaya pengajaran dan pelatihan; 2) proses atau cara, perbuatan mendidik. Sedangkan menurut UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam pasal 1, pendidikan adalah “usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.

Jika dilihat dua hal di atas pun telah memiliki perbedaan pemaknaan. Pemaknaan pertama menurut KBBI. Pendidikan lebih dipandang sebagai suatu usaha pengubahan sikap atau tingkah laku. Ini berarti menyangkut kehidupan di semua usia. Maka tak heran jika pendidikan dirunut dari arti ini, akan berlaku semenjak usia kecil. Pendidikan dalam arti ini lebih mengacu kepada pembentukan sikap, yang berarti akan lebih mengarahkan kepada pendidikan yang bersifat informal. Pendidikan dalam keluarga yang telah dilakukan semenjak seorang anak masih bayi menjadi salah satu makna di dalam pengertian ini.

Makna kedua melihat dari arti yang dijelaskan dalam Undang-undang Sisdiknas. Pemaknaan pendidikan dalam UU ini lebih mengarah kepada pendidikan yang terjadi di sebuah lembaga secara formal. Ini memang sudah selayaknya demikian. Mengingat pengguna UU sisdiknas ini akan berkaitan langsung dengan dunia pendidikan di sektor formal dan non formal.

Terlepas dari perbedaan pemaknaan tersebut, pendidikan di Indonesia memiliki sejarah dan masalah tersendiri. Pendidikan di Indonesia hingga saat ini terasa seperti seorang remaja yang tengah mencari jati diri. Walaupun telah bertahun-tahun Indonesia merdeka. Bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka, lembaga pendidikan di Indonesia telah ada. Namun sejauh dan selama itu, pendidikan masih saja belum menemukan formula yang tepat untuk diterapkan di negara ini.

Lihatlah dari kurikulum, sumber daya manusia, sarana, bahkan yang paling pelik adalah pembiayaan. Kurikulum pendidikan di Indonesia sudah berapa kali berganti? Semenjak menggunakan kurikulum yang murni berbasis materi, kompetensi, hingga sikap. Dari sekian kali pergantian ini bukan tanpa menyisakan sisi positif dan negatif. Setiap negara memang memerlukan perkembangan dan peningkatan kualitas. Hanya saja kurikulum yang akhir-akhir ini sering berganti telah menyebabkan kehebohan tersendiri bagi kalangan pengguna dan pelaku pendidikan di tingkat bawah.

Belum lama ini, sekitar dua tahun yang lalu.  Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) diganti secara total dengan kurikulum 2013. Semua sekolah dikenakan kewajiban menggunakan kurikulum ini. Konsekuensinya semua sarana pembelajaran (baca buku) berganti. Pergantian buku pelajaran bukan hanya menjadi dilema sekolah, namun juga wali murid. Belum sampai satu tahun kebijakan ini berlaku. Tiba-tiba saja ada penghentian pemberlakuan kurikulum 2013 unutk semua sekolah yang bukan sasaran. Praktis hanya satu semester sekolah yang bukan sasaran, melaksanakan kurikulum 2013. Belum selesai persoalan buku baru untuk kurikulum 2013 pada semester sebelumnya, tiba-tiba dihadapkan lagi dengan kembalinya kurikulum ke KTSP.

Pergantian kurikulum yang terkesan “dadakan” ini menimbulkan berbagai opini. Mulai dari ketidaksiapan pemerintah menggagasnya, hingga kurangnya serapan dana untuk mengimplementasikan kurikulum yang baru. Persoalan kurikulum ini baru dilihat dari sisi luarnya saja. Belum lagi jika ditilik dari sisi dalamnya. Apapun bentuk kurikulum yang diberlakukan di Indonesia, pertanyaan yang sama akan selalu diungkapkan. Pernahkan Indonesia hingga detik ini memiliki kurikulum yang pure diciptakan  sendiri?

Beralih kepada persoalan lainnya. Sumber daya manusia pendidikan. Apakah ini sama dengan guru? Ya,  jika itu dimaknai secara sempit. Karena bagaimanapun juga guru adalah sumber daya manusia yang memiliki peran sangat penting dan strategis dalam menjalankan pendidikan. Walalupun jika dillihat dari sisi yang lebih luas, sumber daya manusia pendidikan bukanlah hanya guru saja. Guru pun bukan tidak memiliki masalah. Upaya peningkatan sumber daya guru memang talah dilakukan oleh pemerintah yakni dengan adanya gagasan sertifikasi guru. Setelah sepuluh tahun berjalan, sertifikasi guru menuai berbagai macam kontroversi. Bagi guru yang telah bisa menikmati kebijakan ini, sertifikasi merupakan penghargaan yang luar biasa, mengingat selama bertahun-tahun guru dikenal sebagai pahlawan tanpa tanda jasa.

Program sertifikasi guru bisa jadi adalah terobosan dari pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan guru. Dengan harapan mereka tidak perlu lagi “nyambi” pekerjaan lainnya. Sehingga fokus untuk mendidik menjadi lebih baik. Apakah tujuan ini tercapai? Tidak juga. Program ini pada satu sisi memang mampu mendongkrak kesejahteraan guru. Ini terbukti dengan adanya peningkatan yang cukup tajam dari pendaftaran haji semenjak tahun 2008 hingga sekarang, dan guru menempati posisi yang tinggi di dalamnya sebagai pengantri. Namun disisi yang lainnya, program ini telah menimbulkan kecemburuan diantara sesama guru. Karena pada kenyataanya guru yang telah menyandang titel sertifikasi tidak lebih baik kinerjanya dari guru yang bahkan masih berstatus sebagai guru tidak tetap alias guru wiyata bhakti.

Kecemburuan ini akan tetap merebak. Manakala insentif tidak sebanding dengan kinerjanya. Berbagai solusi telah dicoba diterapkan bagi guru-guru sertifikasi ini. Adanya penilaian kinerja guru, uji kompetensi guru (UKG), hingga program guru pembelajar sebagai kelanjutannya. Namun rupanya lagi-lagi program-program ini menemui jalan buntu. Alih-alih meningkatkan kualitas guru, program peningkatan kualitas guru ini justru dianggap menambah beban terutama bagi mereka yang telah memasuki usia 50 ke atas. Sehingga pada pelaksanaannya jelas tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Membicarakan persoalan pendidikan di Indonesia memang tidak akan pernah ada habisnya. Bagaikan jamur yang tumbuh terus menerus di tanah lembab. Pendidikan akan selalu menyisakan persoalan. Suatu kali Indonesia sudah semestinya mencari sebuah formula yang tepat bagi pendidikan ini. Bukan hanya sekedar mengadopsi kurikulum dari negara lain. namun suatu ketika Indonesia harus mampu merumuskannya sendiri. Menciptakan sebuah kurikulum yang memang sesuai dengan apa yang dibutuhkan di negara ini, sesuai dengan budaya, serta kehidupan penduduk Indonesia yang beragam.

Persoalan sertifikasi guru yang berkaitan langsung dengan kinerja, sangat mungkin memerlukan sebuah pemikiran panjang untuk mengatasinya. Bagaimanapun juga kinerja tidak semata-mata hanya dipengaruhi oleh faktor finansial saja. Kecenderungan penurunan kinerja seolah telah menjadi tradisi bagi guru-guru dengan usia di atas 50 tahun. Walaupun tidak secara keseluruhan terjadi. Kondisi ini sepertinya telah diperhatikan oleh pemerintah. Hanya saja terobosan dan program yang diterapkan untuk kembali mengangkat kinerja mereka belum lagi mendapatkan titik terang. Program guru pembelajar yang digagas tahun 2016 yang lalu, dirasa terlalu berat bagi guru-guru di atas usia 50 tahun. Maka perlu program yang lebih fleksibel bagi mereka. Jelas diperlukan adanya pembedaan penanganan dalam hal peningkatan kualitas guru bagi usia-usia di atas 50 tahun. Pelatihan yang lebih simple namun aplikatif akan lebih mengena bagi mereka, dibandingkan pelatihan dengan menggunakan media komputer dan jaringan.

#Hari Pendidikan Nasional

#02 Mei 2017

17 April 2017

Wirausaha? Siapa Takut

Hallo semuanya...salam dari saya...

Ada banyak jenis pekerjaan di dunia ini yang dapat dilakukan. Tak perlu risau jika saat ini kamu masih menjadi “pengacara” alias penganggur banyak acara. Saat ini boleh jadi penganggur, tapi sejenak kemudian setelah kamu membaca tulisan ini, saya harap kamu bukan lagi pengacara yang tanpa ada hasilnya. Seberapa hebatkah tulisan ini akan berpengaruh padamu, itu semua bergantung pada bagaimana kamu menyikapi hidup. Ah..ribet. Baiklah  kita mulai pembahasannya.

Selama ini ada anggapan bahwa dunia kerja hanyalah milik mereka yang sudah lulus sekolah atau kuliah saja. Saat masih jadi anak sekolah atau anak kuliahan tak perlu repot-repot kerja, cari duit. Toh masih bisa minta ke orangtua. Jika kamu termasuk salah satu orang yang punya anggapan demikian, sebaiknya tak perlu repot-repot meneruskan membaca tulisan ini. Nggak penting banget...ngabisin waktu. Tapi jika kamu bukan termasuk yang berfikiran demikian, baiknya saya beri ucapan “selamat” karena kamu adalah pemenang. Lantas ada pula sebuah semboyan yang entah berasal dari negeri mana. Namun sesungguhnya dia sangat menyesatkan. “Waktu kecil dimanja, muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga”. Dengan keras dan tegas saya katakan “Tinggalkan semboyan itu, karena itu Cuma ada di negeri dongeng. Bukan disini, di dunia nyata.”

Teman,...kesuksesan seseorang bukan datang secara tiba-tiba, sekejap mata, semudah membalikkan tangan, itupun kalo tangannya lagi nggak kesemutan. Kesuksesan datang bersamaan dengan kerja keras. Lantas, mulai kapan seharusnya kita membangun kesuksesan. Apapun pilihan kita untuk menuju sukses, dia harus dibangun sejak dini. Bahkan saat kita masih kanak-kanak. Satu hal yang harus segera kita rubah dari mind set bahwa nengejar kesuksesan bukan dimulai dari lulus sekolah. Saat kita masih jadi anak sekolahan, sebenarnya ada banyak hal yabg dapat kita lakukan. Saat itu orientasi utama bukan pada hasil, melainkan pada proses. Inilah salah satu cara membangun sikap sukses.

Salah satu hal yang dapat dilakukan sejak dini adalah wirausaha. Jenis pekerjaan ini tidak pernah membutuhkan persyaratan ijasah, nilai, atau keahlian khusus. Dia hanya perlu tekad, ketekunan, dan ketrampilan. Bahkan bagi kamu yang telah memilki kerjaan tetap, wirausaha pun bisa menjadi pilihan untuk kerjaan sampingan. Berikut ini beberapa jenis wirausaha yang dapat dilakukan oleh siapapun, termasuk anak sekolahan.


  1. Jualan secara online
Sapa yang tidak punya HP saat ini. Bahkan anak TK saja terkadang sudah diberi nainan HP. Ini artinya hampir semua usia memiliki perangkat handphone. Mungkin tidak semua HP terkoneksi dengan internet. Namun, berapa persenkah itu? Sangat kecil. Pertanyaannya, “Mampukah kita membuat peluang ini menjadi sesuatu yang nyata?”. Berselancar di dunia maya sudah menjadi kebutuhan semua orang, bahkan pada tingkatan primer. Kita dapat menggunakan akun-akun sosial untuk media promosi. Untuk menjalani usaha ini kita hanya perlu modal sebuah HP yang dapat mengakses internet serta sedikit keberanian. Berikut beberapa hal yang harus dilakukan untuk memulai usaha jyalan online.
Pilih jenis barang dagangan yang akan kita jual. Yang pasti bukan barang yang terlarang ya. Pilihlah barang yang mudah laku, dibutuhkan banyak orang, dsn tidak mudah membusuk.
Pilih sistem penjualan kita. Jika punya modal yang cukup kita bisa menyetok barang di rumah. Namun jika tidak, memilih sistem reseler pun tidak mengapa. Artinya kita menjualkan barang orang lain. Saat ini ada banyak produk yang dapat kita temui di internet. Dan mereka menawarkan untuk reseler dropship. Ini artinya kita hanya perlu mencari pembeli, tanpa harus menyetok barang.
Pertimbangkan jenis pengiriman barang, jika kita melayani pengiriman sendiri.
Jangan lupa untuk membuat rekening di bank yang akan memudahkan sistem pembayaran

2. Jualan makanan kecil
Jualan ini bisa dilakukan sambil sekolah ataupun kerjaan tetap lainnya. Ingat sosoj Desi slondok? Dia selalu membawa dagangannya yang berupa slondok saat sekolah. Jadi, sebenarnya tidak ada alasan untuk tidak melakukannya. Sekali lagi ini hanya tentang tekad. Jualan makanan kecil dapat menjadi pilihan, mengingat banyaknya produsen yang menyediakan. Bahkan kita pun bisa membuatnya sendiri. Masalah pemasaran kita bisa menggunakan sitem titip jual. Atau menjualnya sendiri kepada teman-teman.

3. Ternak ayam kampung
Jika kamu termasuk pecinta binatang, usaha ini dapat menjadi pilihan. Ternak ayam kampung cukup mudah dilakukan. Tak perlu banyak-banyak, jika kita baru memulainya. Dua pasang saja sudah cukup. Saat ayam-ayam ini mulai bertelur dan menghasilkan anak-anak, saat itulah kita menuai hasilnya. Dari segi pemberian makan, ayam kampung cukup mudah, bahkan hanya dengan campuran dedak dan nasi saja sudah cukup.

Kiranya ini dulu yang bisa saya tuliskan, masih banyak jenis wirausaha lain yang dapat dilakukan. Mudah-mudahan pada update berikutnya dapat saya tuliskan.