Pendidikan bukanlah kata yang asing bagi telinga siapapun. Pun
bagi seorang awam. Pendidikan sudah lazim didengar. Hanya saja pemaknaan kata
pendidikan bagi sebagian orang bisa jadi sangat berbeda dengan sebagian yang
lain. bagi orang awam akan menjadi biasa jika menyamakan pendidikan dengan
sekolah. Bagi para siswa pendidikan sama halnya dengan belajar. Bagi para
taruna pendidikan sama halnya dengan latihan. Pemaknaan yang berbeda-beda ini terjadi
bukan tanpa alasan. Karena setiap orang memiliki keterbatasan dan pengalaman
sendiri-sendiri, sehinga dalam pengartian sebuah kata pun akan senantiasa
diakaitkan dengan apa yang menjadi tugas, kebiasaan, dan pengalaman mereka
sendiri.
Lantas apa sebenarnya pendidikan itu? Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (2000), pendidikan adalah: 1) proses pengubahan sikap dan tata
laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; 2)
proses atau cara, perbuatan mendidik. Sedangkan menurut UU RI No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam pasal 1, pendidikan adalah “usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.
Jika dilihat dua hal di atas pun telah memiliki perbedaan
pemaknaan. Pemaknaan pertama menurut KBBI. Pendidikan lebih dipandang sebagai
suatu usaha pengubahan sikap atau tingkah laku. Ini berarti menyangkut
kehidupan di semua usia. Maka tak heran jika pendidikan dirunut dari arti ini,
akan berlaku semenjak usia kecil. Pendidikan dalam arti ini lebih mengacu
kepada pembentukan sikap, yang berarti akan lebih mengarahkan kepada pendidikan
yang bersifat informal. Pendidikan dalam keluarga yang telah dilakukan semenjak
seorang anak masih bayi menjadi salah satu makna di dalam pengertian ini.
Makna kedua melihat dari arti yang dijelaskan dalam
Undang-undang Sisdiknas. Pemaknaan pendidikan dalam UU ini lebih mengarah
kepada pendidikan yang terjadi di sebuah lembaga secara formal. Ini memang
sudah selayaknya demikian. Mengingat pengguna UU sisdiknas ini akan berkaitan
langsung dengan dunia pendidikan di sektor formal dan non formal.
Terlepas dari perbedaan pemaknaan tersebut, pendidikan di
Indonesia memiliki sejarah dan masalah tersendiri. Pendidikan di Indonesia
hingga saat ini terasa seperti seorang remaja yang tengah mencari jati diri. Walaupun
telah bertahun-tahun Indonesia merdeka. Bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka,
lembaga pendidikan di Indonesia telah ada. Namun sejauh dan selama itu,
pendidikan masih saja belum menemukan formula yang tepat untuk diterapkan di
negara ini.
Lihatlah dari kurikulum, sumber daya manusia, sarana, bahkan
yang paling pelik adalah pembiayaan. Kurikulum pendidikan di Indonesia sudah
berapa kali berganti? Semenjak menggunakan kurikulum yang murni berbasis
materi, kompetensi, hingga sikap. Dari sekian kali pergantian ini bukan tanpa
menyisakan sisi positif dan negatif. Setiap negara memang memerlukan
perkembangan dan peningkatan kualitas. Hanya saja kurikulum yang akhir-akhir
ini sering berganti telah menyebabkan kehebohan tersendiri bagi kalangan
pengguna dan pelaku pendidikan di tingkat bawah.
Belum lama ini, sekitar dua tahun yang lalu. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
diganti secara total dengan kurikulum 2013. Semua sekolah dikenakan kewajiban
menggunakan kurikulum ini. Konsekuensinya semua sarana pembelajaran (baca buku)
berganti. Pergantian buku pelajaran bukan hanya menjadi dilema sekolah, namun juga
wali murid. Belum sampai satu tahun kebijakan ini berlaku. Tiba-tiba saja ada
penghentian pemberlakuan kurikulum 2013 unutk semua sekolah yang bukan sasaran.
Praktis hanya satu semester sekolah yang bukan sasaran, melaksanakan kurikulum
2013. Belum selesai persoalan buku baru untuk kurikulum 2013 pada semester
sebelumnya, tiba-tiba dihadapkan lagi dengan kembalinya kurikulum ke KTSP.
Pergantian kurikulum yang terkesan “dadakan” ini menimbulkan
berbagai opini. Mulai dari ketidaksiapan pemerintah menggagasnya, hingga
kurangnya serapan dana untuk mengimplementasikan kurikulum yang baru. Persoalan
kurikulum ini baru dilihat dari sisi luarnya saja. Belum lagi jika ditilik dari
sisi dalamnya. Apapun bentuk kurikulum yang diberlakukan di Indonesia, pertanyaan
yang sama akan selalu diungkapkan. Pernahkan Indonesia hingga detik ini
memiliki kurikulum yang pure diciptakan sendiri?
Beralih kepada persoalan lainnya. Sumber daya manusia
pendidikan. Apakah ini sama dengan guru? Ya,
jika itu dimaknai secara sempit. Karena bagaimanapun juga guru adalah
sumber daya manusia yang memiliki peran sangat penting dan strategis dalam
menjalankan pendidikan. Walalupun jika dillihat dari sisi yang lebih luas,
sumber daya manusia pendidikan bukanlah hanya guru saja. Guru pun bukan tidak
memiliki masalah. Upaya peningkatan sumber daya guru memang talah dilakukan
oleh pemerintah yakni dengan adanya gagasan sertifikasi guru. Setelah sepuluh
tahun berjalan, sertifikasi guru menuai berbagai macam kontroversi. Bagi guru
yang telah bisa menikmati kebijakan ini, sertifikasi merupakan penghargaan yang
luar biasa, mengingat selama bertahun-tahun guru dikenal sebagai pahlawan tanpa
tanda jasa.
Program sertifikasi guru bisa jadi adalah terobosan dari
pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan guru. Dengan harapan mereka tidak
perlu lagi “nyambi” pekerjaan lainnya. Sehingga fokus untuk mendidik menjadi
lebih baik. Apakah tujuan ini tercapai? Tidak juga. Program ini pada satu sisi
memang mampu mendongkrak kesejahteraan guru. Ini terbukti dengan adanya
peningkatan yang cukup tajam dari pendaftaran haji semenjak tahun 2008 hingga
sekarang, dan guru menempati posisi yang tinggi di dalamnya sebagai pengantri. Namun
disisi yang lainnya, program ini telah menimbulkan kecemburuan diantara sesama
guru. Karena pada kenyataanya guru yang telah menyandang titel sertifikasi
tidak lebih baik kinerjanya dari guru yang bahkan masih berstatus sebagai guru
tidak tetap alias guru wiyata bhakti.
Kecemburuan ini akan tetap merebak. Manakala insentif tidak
sebanding dengan kinerjanya. Berbagai solusi telah dicoba diterapkan bagi
guru-guru sertifikasi ini. Adanya penilaian kinerja guru, uji kompetensi guru
(UKG), hingga program guru pembelajar sebagai kelanjutannya. Namun rupanya
lagi-lagi program-program ini menemui jalan buntu. Alih-alih meningkatkan
kualitas guru, program peningkatan kualitas guru ini justru dianggap menambah
beban terutama bagi mereka yang telah memasuki usia 50 ke atas. Sehingga pada
pelaksanaannya jelas tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Membicarakan persoalan pendidikan di Indonesia memang tidak
akan pernah ada habisnya. Bagaikan jamur yang tumbuh terus menerus di tanah
lembab. Pendidikan akan selalu menyisakan persoalan. Suatu kali Indonesia sudah
semestinya mencari sebuah formula yang tepat bagi pendidikan ini. Bukan hanya
sekedar mengadopsi kurikulum dari negara lain. namun suatu ketika Indonesia
harus mampu merumuskannya sendiri. Menciptakan sebuah kurikulum yang memang
sesuai dengan apa yang dibutuhkan di negara ini, sesuai dengan budaya, serta
kehidupan penduduk Indonesia yang beragam.
Persoalan sertifikasi guru yang berkaitan langsung dengan
kinerja, sangat mungkin memerlukan sebuah pemikiran panjang untuk mengatasinya.
Bagaimanapun juga kinerja tidak semata-mata hanya dipengaruhi oleh faktor
finansial saja. Kecenderungan penurunan kinerja seolah telah menjadi tradisi
bagi guru-guru dengan usia di atas 50 tahun. Walaupun tidak secara keseluruhan
terjadi. Kondisi ini sepertinya telah diperhatikan oleh pemerintah. Hanya saja
terobosan dan program yang diterapkan untuk kembali mengangkat kinerja mereka
belum lagi mendapatkan titik terang. Program guru pembelajar yang digagas
tahun 2016 yang lalu, dirasa terlalu berat bagi guru-guru di atas usia 50
tahun. Maka perlu program yang lebih fleksibel bagi mereka. Jelas diperlukan
adanya pembedaan penanganan dalam hal peningkatan kualitas guru bagi usia-usia
di atas 50 tahun. Pelatihan yang lebih simple namun aplikatif akan lebih
mengena bagi mereka, dibandingkan pelatihan dengan menggunakan media komputer
dan jaringan.
#Hari Pendidikan Nasional
#02 Mei 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar