2 Mei 2017

Mengintip Secuil Problematika Pendidikan Indonesia

Pendidikan bukanlah kata yang asing bagi telinga siapapun. Pun bagi seorang awam. Pendidikan sudah lazim didengar. Hanya saja pemaknaan kata pendidikan bagi sebagian orang bisa jadi sangat berbeda dengan sebagian yang lain. bagi orang awam akan menjadi biasa jika menyamakan pendidikan dengan sekolah. Bagi para siswa pendidikan sama halnya dengan belajar. Bagi para taruna pendidikan sama halnya dengan latihan. Pemaknaan yang berbeda-beda ini terjadi bukan tanpa alasan. Karena setiap orang memiliki keterbatasan dan pengalaman sendiri-sendiri, sehinga dalam pengartian sebuah kata pun akan senantiasa diakaitkan dengan apa yang menjadi tugas, kebiasaan, dan pengalaman mereka sendiri.

Lantas apa sebenarnya pendidikan itu? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2000), pendidikan adalah: 1) proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia  melalui upaya pengajaran dan pelatihan; 2) proses atau cara, perbuatan mendidik. Sedangkan menurut UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam pasal 1, pendidikan adalah “usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.

Jika dilihat dua hal di atas pun telah memiliki perbedaan pemaknaan. Pemaknaan pertama menurut KBBI. Pendidikan lebih dipandang sebagai suatu usaha pengubahan sikap atau tingkah laku. Ini berarti menyangkut kehidupan di semua usia. Maka tak heran jika pendidikan dirunut dari arti ini, akan berlaku semenjak usia kecil. Pendidikan dalam arti ini lebih mengacu kepada pembentukan sikap, yang berarti akan lebih mengarahkan kepada pendidikan yang bersifat informal. Pendidikan dalam keluarga yang telah dilakukan semenjak seorang anak masih bayi menjadi salah satu makna di dalam pengertian ini.

Makna kedua melihat dari arti yang dijelaskan dalam Undang-undang Sisdiknas. Pemaknaan pendidikan dalam UU ini lebih mengarah kepada pendidikan yang terjadi di sebuah lembaga secara formal. Ini memang sudah selayaknya demikian. Mengingat pengguna UU sisdiknas ini akan berkaitan langsung dengan dunia pendidikan di sektor formal dan non formal.

Terlepas dari perbedaan pemaknaan tersebut, pendidikan di Indonesia memiliki sejarah dan masalah tersendiri. Pendidikan di Indonesia hingga saat ini terasa seperti seorang remaja yang tengah mencari jati diri. Walaupun telah bertahun-tahun Indonesia merdeka. Bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka, lembaga pendidikan di Indonesia telah ada. Namun sejauh dan selama itu, pendidikan masih saja belum menemukan formula yang tepat untuk diterapkan di negara ini.

Lihatlah dari kurikulum, sumber daya manusia, sarana, bahkan yang paling pelik adalah pembiayaan. Kurikulum pendidikan di Indonesia sudah berapa kali berganti? Semenjak menggunakan kurikulum yang murni berbasis materi, kompetensi, hingga sikap. Dari sekian kali pergantian ini bukan tanpa menyisakan sisi positif dan negatif. Setiap negara memang memerlukan perkembangan dan peningkatan kualitas. Hanya saja kurikulum yang akhir-akhir ini sering berganti telah menyebabkan kehebohan tersendiri bagi kalangan pengguna dan pelaku pendidikan di tingkat bawah.

Belum lama ini, sekitar dua tahun yang lalu.  Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) diganti secara total dengan kurikulum 2013. Semua sekolah dikenakan kewajiban menggunakan kurikulum ini. Konsekuensinya semua sarana pembelajaran (baca buku) berganti. Pergantian buku pelajaran bukan hanya menjadi dilema sekolah, namun juga wali murid. Belum sampai satu tahun kebijakan ini berlaku. Tiba-tiba saja ada penghentian pemberlakuan kurikulum 2013 unutk semua sekolah yang bukan sasaran. Praktis hanya satu semester sekolah yang bukan sasaran, melaksanakan kurikulum 2013. Belum selesai persoalan buku baru untuk kurikulum 2013 pada semester sebelumnya, tiba-tiba dihadapkan lagi dengan kembalinya kurikulum ke KTSP.

Pergantian kurikulum yang terkesan “dadakan” ini menimbulkan berbagai opini. Mulai dari ketidaksiapan pemerintah menggagasnya, hingga kurangnya serapan dana untuk mengimplementasikan kurikulum yang baru. Persoalan kurikulum ini baru dilihat dari sisi luarnya saja. Belum lagi jika ditilik dari sisi dalamnya. Apapun bentuk kurikulum yang diberlakukan di Indonesia, pertanyaan yang sama akan selalu diungkapkan. Pernahkan Indonesia hingga detik ini memiliki kurikulum yang pure diciptakan  sendiri?

Beralih kepada persoalan lainnya. Sumber daya manusia pendidikan. Apakah ini sama dengan guru? Ya,  jika itu dimaknai secara sempit. Karena bagaimanapun juga guru adalah sumber daya manusia yang memiliki peran sangat penting dan strategis dalam menjalankan pendidikan. Walalupun jika dillihat dari sisi yang lebih luas, sumber daya manusia pendidikan bukanlah hanya guru saja. Guru pun bukan tidak memiliki masalah. Upaya peningkatan sumber daya guru memang talah dilakukan oleh pemerintah yakni dengan adanya gagasan sertifikasi guru. Setelah sepuluh tahun berjalan, sertifikasi guru menuai berbagai macam kontroversi. Bagi guru yang telah bisa menikmati kebijakan ini, sertifikasi merupakan penghargaan yang luar biasa, mengingat selama bertahun-tahun guru dikenal sebagai pahlawan tanpa tanda jasa.

Program sertifikasi guru bisa jadi adalah terobosan dari pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan guru. Dengan harapan mereka tidak perlu lagi “nyambi” pekerjaan lainnya. Sehingga fokus untuk mendidik menjadi lebih baik. Apakah tujuan ini tercapai? Tidak juga. Program ini pada satu sisi memang mampu mendongkrak kesejahteraan guru. Ini terbukti dengan adanya peningkatan yang cukup tajam dari pendaftaran haji semenjak tahun 2008 hingga sekarang, dan guru menempati posisi yang tinggi di dalamnya sebagai pengantri. Namun disisi yang lainnya, program ini telah menimbulkan kecemburuan diantara sesama guru. Karena pada kenyataanya guru yang telah menyandang titel sertifikasi tidak lebih baik kinerjanya dari guru yang bahkan masih berstatus sebagai guru tidak tetap alias guru wiyata bhakti.

Kecemburuan ini akan tetap merebak. Manakala insentif tidak sebanding dengan kinerjanya. Berbagai solusi telah dicoba diterapkan bagi guru-guru sertifikasi ini. Adanya penilaian kinerja guru, uji kompetensi guru (UKG), hingga program guru pembelajar sebagai kelanjutannya. Namun rupanya lagi-lagi program-program ini menemui jalan buntu. Alih-alih meningkatkan kualitas guru, program peningkatan kualitas guru ini justru dianggap menambah beban terutama bagi mereka yang telah memasuki usia 50 ke atas. Sehingga pada pelaksanaannya jelas tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Membicarakan persoalan pendidikan di Indonesia memang tidak akan pernah ada habisnya. Bagaikan jamur yang tumbuh terus menerus di tanah lembab. Pendidikan akan selalu menyisakan persoalan. Suatu kali Indonesia sudah semestinya mencari sebuah formula yang tepat bagi pendidikan ini. Bukan hanya sekedar mengadopsi kurikulum dari negara lain. namun suatu ketika Indonesia harus mampu merumuskannya sendiri. Menciptakan sebuah kurikulum yang memang sesuai dengan apa yang dibutuhkan di negara ini, sesuai dengan budaya, serta kehidupan penduduk Indonesia yang beragam.

Persoalan sertifikasi guru yang berkaitan langsung dengan kinerja, sangat mungkin memerlukan sebuah pemikiran panjang untuk mengatasinya. Bagaimanapun juga kinerja tidak semata-mata hanya dipengaruhi oleh faktor finansial saja. Kecenderungan penurunan kinerja seolah telah menjadi tradisi bagi guru-guru dengan usia di atas 50 tahun. Walaupun tidak secara keseluruhan terjadi. Kondisi ini sepertinya telah diperhatikan oleh pemerintah. Hanya saja terobosan dan program yang diterapkan untuk kembali mengangkat kinerja mereka belum lagi mendapatkan titik terang. Program guru pembelajar yang digagas tahun 2016 yang lalu, dirasa terlalu berat bagi guru-guru di atas usia 50 tahun. Maka perlu program yang lebih fleksibel bagi mereka. Jelas diperlukan adanya pembedaan penanganan dalam hal peningkatan kualitas guru bagi usia-usia di atas 50 tahun. Pelatihan yang lebih simple namun aplikatif akan lebih mengena bagi mereka, dibandingkan pelatihan dengan menggunakan media komputer dan jaringan.

#Hari Pendidikan Nasional

#02 Mei 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar