23 Mei 2017

Mahasiswa "Cuci Gudang"

Apa yang terpikirkan saat mendengar kata “cuci gudang”? Harga murah, diskon, barang lama, harga miring. Setidaknya itulah yang akan terbersit dalam benak. Cuci gudang memang identik dengan diskon, dan harga murah. Pada dasarnya istilah cuci gudang dikenal dalam istilah perdagangan. Dalam dunia perniagaan, cuci gudang  memiliki pengertian menjual barang yang menumpuk di gudang dengan berbagai macam strategi penjualan. Harga jual barang cuci gudang tidak selalu murah. Bisa jadi lebih mahal. Karena pada dasarnya cuci gudang adalah mengeluarkan barang yang menunpuk di gudang. Barang ini ada di gudang, bisa jadi karena tidak laku pada suatu masa, namun akan laku lagi dimasa yang lain.
Lantas, saat istilah “cuci gudang” ini disandingkan dengan kata mahasiswa, apa yang terpikirkan? Yups... bisa jadi apa yang ada di benak kita nyaris sama. Anak kuliahan yang sudah lama studinya tapi belum lulus juga. Pertanyaan berikutnua, memangnya ada ya mahasiswa cuci gudang? Dipungkiri atau tidak fakta berbicara, “that’s true” ada. Mari kita lihat ke sebuah kampus. Menurut wawancara yang telah saya lakukan beberapa hari yang lalu, dalam sebuah fakultas sedikitnya ada 5-10 mahasiswa berpredikat ini. Mari kita samakan dulu persepsi kita mengenai mahasiswa cuci gudang ini. Ini adalah mahasiswa yang sudah memasuki semester akhir, bahkan terancam dikeluarkan karena terlalu lama ngurus tugas akhir dan belum kelar-kelar juga.
Ternyata, predikat ini bukan hanya ada pada mahasiswa strata 1 (S1) saja. Sampai jenjang strata 3 (S3) pun ada. Pada jenjang S1 normalnya seorang mahasiswa mengikuti masa studinya selama 8-10 semester. Namun, kenyataannya ada yang sampai semester 14 alias 7 tahun baru lulus. Jenjang S2 sampai 8 semester baru rampung. Dan jangan dikira pada jenjang S3 tidak ada, justru lebih parah lagi karena ada mahasiswa S3 yang mulai masuk tahun 2013 dan hingga kini disertasinya masih mandeg di tengah jalan.
Fenomena (kalo boleh menyebutnya) ini memang banyak hal yang menjadi latar belakangnya. Mahasiswa S1 kebanyakan dikarenakan sibuk beraktivitas dalam suatu organisasi, lantas menjadi lupa akan tugas utamanya dalam menempuh studi. Ada pula yang mengatakan merasa malas saat menyusun skripsi, terlebih saat mendapatkan dosen pembimbing yang “perfectionis” namun sangat susah ditemui.
Pada jenjang S2 dan S3 persoalannya sedikit berbeda. Sebagian besar mahasiswa S2/S3 adalah pegawai baik negeri maupun swasta,  telah memiliki pekerjaan, dan telah memiliki tanggungan keluarga (sudah menikah). Maka pada kasus mahasiswa pascasarjana, ini lebih banyak dikarenakan faktor kesibukan kerjaan. Menemukan waktu yang tepat bagi mahasiswa untuk bertemu dosen pembimbing menjadi hal yang sedikit rumit. Terlebih bagi mahasiswa yang juga pekerja dengan jam kerja dan jadwal yang padat. Maka tak heran jika urusan kuliah harus dinomorduakan.
Tak pernah ada yang menyalahkan predikat ini. Toh pada akhirnya mereka juga akan menyandang gelar sarjana, magister atau doktor sekalipun. Apakah mahasiswa cuci gudang ini dapat dikatakan memiliki kualitas yang kurang dibandingkan dengan mahasiswa yang normal. Jawabnya tentu saja tidak. Mengingat banyak faktor yang menjadi penyebabnya tadi.
Menjalani sebuah studi lanjutan di perguruan tinggi adalah sebuah pilihan. Saat akan masuk, tentu bukan hanya sekedar ikut-ikutan saja biar sama dengan temannya. Jika ini sampai terjadi, tamatlah sudah. Memilih sebuah studi tentu harus diikuti dengan kesiapan segalanya. Siap terikat dengan mata kuliah, dosen, waktu kuliah, biaya, dan sebagainya. Tata aturan yang sedikit berbeda dengan sekolah menengah, menjadikan suatu tantangan tersendiri bagi mahasiswa tingkat S1.
Menjadi agak sulit pada mahasiswa sarjana/pascasarjana yang notabenenya juga sebagai pegawai. Ada dua sisi yang sama-sama ingin diperjuangkan. Studi dan pekerjaannya. Keduanya harus berjalan dengan baik. Bagaimanapun juga studi akan berdampak pada pekerjaannya, jika itu sebuah profesi yang memang menuntut adanya persyaratan kualifikasi pendidikan. Begitupun pekerjaannya akan berdampak pada studinya. Karena biaya studi tidak lain juga didapat dari gaji pekerjaannya.
Kerumitan demi kerumitan inilah yang kemudian menjadikan seorang mahasiswa dalam tingkatan apapun memutuskan untuk mengambil cuti bersemester-semester. Sekali lagi tak ada yang dapat menyalahkannya. Selama masih ada jalan tengah untuk merampungkan studi dengan cepat, maka itulah yang terbaik untuk dilakukan. Jika persoalan ada pada saat penyusunan karya akhir baik skripsi, tesis, maupun disertasi maka akan lebih baik jika segera merampungkan dari pada terus menerus menunda. Dosen pembimbing yang terlalu ideal, suatu saat juga akan luluh hatinya jika terus didekati. Mencari celah diantara waktu kerja untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliah tetap menjadi pilihan bagi mahasiswa yang juga pekerja.
So,... menjadi mahasiswa dengan predikat normal atau cuci gudang adalah pilihan kita sendiri. Menyerah dengan keadaan dan berputus asa hanya gara-gara tugas akhir yang tidak kelar-kelar tentu bukan pilihan yang bijak.

#menyemangati anggota ODOP yang lagi nyusun skripsi, tesis, maupun disertasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar