8 Agustus 2017

Dari Imunisasi Hingga Nonton Film


Ada yang berbeda di SD Negeri 1 Tangkil, hari ini 8 Agustus 2017. Pagi tadi sekitar pukul 08.30 sekolah yang terletak di Lereng Gunung Merapi, tepatnya di Desa Tangkil, Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten kedatangan tamu dari beberapa institusi. 

Tamu pertama, adalah rombongan Bapak Kapolsek Kecamatan Kemalang. Rombongan ini kemudian diikuti oleh sejumlah polisi wanita (polwan) polsek Klaten. Rombongan kedua, berasal dari puskesmas Kecamatan Kemalang. Menyusul rombongan ketiga adalah Mahasiswa Universitas Widya Dharma Klaten. 

Kemeriahan SD Negeri 1 Tangkil pada hari ini, bukan tanpa alasan. Secara kebetulan tanggal 8 Agustus 2017 merupakan jadwal bagi siswa-siswi untuk menerima imunisasi campak rubella. Pemberitahuan mengenai jadwal ini telah disampaikan oleh pihak puskesmas kecamatan Kemalang seminggu sebelumnya. Pihak sekolah pun telah menginfokan kepada seluruh siswa agar mengikuti kegiatan imunisasi ini. 

Semenjak pagi telah ada beberapa wali murid yang memang sengaja menunggui putra-putrinya. Sebagian besar adalah wali murid kelas 1. Saat petugas puskesmas datang, berbagai ekspresi muncul dari para siswa. Mulai dari yang biasa-biasa saja, ketakutan, hingga lari ke lapangan belakang sekolah. 

Satu persatu setiap siswa menerima suntikan imunisasi camapak rubella. Siswa yang telah menerima imunisasi akan diberi tanda pada jari tangannya. Pada kesempatan yang sama, pagi tadi setelah semua siswa menerima imunisasi dilanjutkan dengan acara dari para polwan Kepolisian sektor Klaten. 


Para polwan ini datang ke sekolah guna mengkampanyekan pentingnya imunisasi bagi anak-anak. Selain kampanye, kunjungan ini juga dilaksanakan dalam rangka hari jadi polwan yang ke-69. Acara kampanye dari kepolisian diakhiri dengan kemeriahan foto bersama fan pembagian doorprise untuk semua siswa. 

Kemeriahan di SD Negeri 1 Tangkil, imunisasi

4 Agustus 2017

Dendam Rinduku

Tuhan,...
Dalam redup malamMu
Tak ada kata yang mampu menghapus dukaku
Tak pula kesendirianku saat bersamaMu

Tuhanku,...
Tubuhku ini bukanlah milikku
Nyawaku ada di tanganMu
Apa lagi yang kupunya selain pengharapan

Tuhanku,...
Jika tiba Kau panggil aku
Kuingin Kau penuhi satu pintaku
Tuk melihat wajah kekasihku

Tuhanku,...
Kasihku mengembara di alamMu
Tak ada sambutan tanggannya
Pun senyum manisnya

Tuhanku,...
Dalam teduh malamMu
Kuingin bercengkerama denganMu
Melepaskan dendam rinduku


Jogja, Agustus 2017

Main Jujur-jujuran

"Aku kecewa", cuma itu sebenarnya yang menjadi awal mulanya. Kau telah dapatkan apa yang kau inginkan. Namun aku, belum merasa terpenuhi apa yang menjadi keinginanku.

Sebagian kalian mungkin akan berfikir, "Manusia itu memang nggak ada puasnya sama sekali yah."

"Its true." Aku nggak menyangkal akan hal ini. Tapi tahukan kalian, kalah aku benar-benar kecewa. Sebagian besar manusia pasti mengidamkan timbal balik. Seperti apapun bentuknya.

Pentingkah timbal balik dalam sebuah hubungan? Baik hubungan profesional maupun personal? Jawabnya adalah "Yes" sangat penting. Ini bukan berarti memungkiri dan mengesampingkan istilah "ikhlas tanpa pamrih" beda lho.

Ikhlas sih ikhlas, tapi tetap harus ada komitmen dan arah yang jelas dalam sebuah hubungan. Contohnya nih, dalam hubungan profesional, nggak akan mungkin seseorang mau bekerja gitu saja tanpa mengharapkan adanya timbal balik, yakni upah, honor, atau gaji.

Dalam hubungan personal pun begitu. Pasangan yang baik justru harus punya rasa timbal balik itu. Kalau nggak ada, malah bisa-bisa ancur di tengah jalan. Lalu say good bye. Bagaimana halnya jika salah satu merasa telah memberikan apa yang pasangannya minta, namun dia sendiri tidak mendapatkan apa-apa dari pasangannya? Tetap ada dua kemungkinan jawaban.

Pertama, pasangannya memang nggak "ngggeh" sama keinginan tersebut. Bida jadi ada miss com alias salah paham diantara mereka. Perempuan lebih suka menggunakan bahasa kiasan atas keinginannya. Misalnya nih ya, "Mas, tahu nggak ada buku baru yang bagus lho di gramedia, kemaren dapat info dari temen lagi ada diskonan tuh disana." Kalimat ini menandakan si wanita itu pengin diajak jalan-jalan ke gramedia lalu dibelikan buku. Tapi nih ya,.... Laki-laki mah, mana tahu kalau begitu?

Kalau kasus ini terjadi, dan ternyata pasanganmu nggak ngerti yang dimaksud biasanya si wanita terus ngambek. Contoh lagi nih, bahasa kiasan dari wanita. "Lagi nggak mau diganggu." Itu kata-kata baik secara langsung maupun lewat HP, artinya hampir sama bagi setiap wanita. Pasangnnya kudu peka. Sekeras apapun dia mengatakan kalimat tersebut, dia tetap mengharapkan sapaan dari pasangannya.

Itulah wanita, bahasa kiasan yang nggak dimengerti laki-laki seringkali menjadi bahan mentah yang siap saji dalam waktu lebih cepat daripada membuat mie instan, untuk matang. Kalau sudah tersaji, maka sajiannya adalah ngambeknya si wanita.

Kedua, si laki-laki sudah tahu keinginan pasangannya, tapi nggak mau ngasih. Alasannya bisa macam-macam, bergantung kepada situasi yang berlangsung.

Kedua hal di atas, bisa menimpa siapa saja, mulai dari pasangan yang baru tadi jadian sampai pasangan yang sudah tahunan.

Intinya, just comunication. Hanya komunikasi yang bisa bikin cair suasana. Jangan main gengsi-gengsian. "Nggak lah, mosok aku terus yang minta maaf." Ini nih, yang bisa bikin tambah parah suasana.

Jangan segan untuk minta maaf dulu. Lebih pekalah kepada pasangan. Buat yang laki-laki, ingat selalu kalau wanita itu sering menyamar dalan kalimat yang diucapkannya. Jangan jadi orang Lamongan terus, yang konon katanya nggak kenal basa-basi. Kalau sudah urusan pasangan gini, harus mau belajar kepada orang Jogja yang lebih sering menggunakan kata basa-basi.

Semoga ada yang tersinggung dengan tulisan ini. Walau hanya sekedar tulisan tak bermakna.

3 Agustus 2017

Akreditasi sekolah, Prestasi atau Prestise



Setiap lembaga pendidikan pasti akan mengalami akreditasi, untuk mendapatkan pengakuan. Baik pengakuan dari masyarakat bahwa sekolah tersebut benar-benar ada. Maupun pengakuan dari pemerintah. Akreditasi adalah kegiatan yang dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan non formal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan berdasarkan kriteria yang bersifat terbuka. Kelayakan sebuah lembaga pendidikan akan ditentukan oleh sebuah lembaga akreditasi yakni Badan Akreditasi Nasional (BAN). Untuk tingkat sekolah/madrasah terdapat Badan Akreditasi Sekolah/Madrasah (BAN-S/M) sedangkan pada tingkatan Perguruan tinggi terdapat Badan Akreditasi Perguruan Tinggi (BAN-PT).

Akreditasi sekolah akan dilakukan secara berkala yakni dalam jangka waktu 5 tahun. Setiap 5 tahun lembaga pendidikan mau tidak mau akan menghadapi kenyataan unutk mengikuti penilaian sesuai prosedur yang telah ditetapkan oleh BAN. “Pada tahun 2017, akan dialokasikan sekitar 30.000 sekolah/madrasah untuk diakreditasi melalui APBN Kemdikbud tahun 2017. Hal ini disampaikan Abdul Mu’ti, Ketua Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN-S/M) pada kegiatan Pembukaan Rakornas I BAN-S/M dan BAP-S/M Tahun 2017 di Hotel Shantika Bintaro, Tangerang Selatan. Rakornas akan berlangsung selama tiga hari dari tanggal 5 sampai 7 Februari 2017 dengan peserta sebanyak 136 orang berasal dari pengurus Badan Akreditasi Provinsi Sekolah/madrasah (BAP-S/M) seluruh Indonesia”(menara62.com).

BAN-S/M telah menentukan standar penilaian dalam perangkat akreditasi. Tahun 2017 ini proses akreditasi Sekolah/Madrasah mengalami sedikit perubagahn dalam perangkatnya. Perangkat akreditasi yang dahulu masih berdasarkan standar kurikulum 2006, tahun ini berganti mengikuti standar kurikulum 2013. Jumlah komponen pun mengalami perubahan, menjadi 119 komponen yang terbagi dalam delapan standar, yang meliputi standar isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga pendidik, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian.

Kedelapan standar ini memiliki kriteria sendiri-sendiri yang nantinya akan menentukan nilai setiap komponennya. Nilai akhir dari akreditasi ini lah yang nantinya akan menentukan layak dan tidaknya sebuah lembaga pendidikan. Kriteria penilaian yang digunakan oleh BAN-S/M tahun ini pun mengalami sedikit perbedaan. Peringkat A (unggul) harus mendapatkan nilai antara 91-100, peringkat B (baik) dengan nilai  81 – 90, peringkat C (cukup) dengan nilai 71 – 80. Sekolah/Madrasah yang mendapatkan nilai di bawah itu maka tidak akan terakreditasi.

Peringkat kreditasai pada sebagian besar sekolah merupakan sebuah sarana yang sangat urgent dalam ajang promosi sekolah. Tidak jarang sekolah yang membuat brosur dengan menampilkan nilai akrediatasinya. Sekolah-sekolah di daerah perkotaan akan menganggap sangat penting niali akreditasi. Karenan persaingan perebutan siswa baru di daerah perkotaan sangat dipenbgaruhi oleh nilai ini. Orangtua siswa tetap akan mempertimbangkan nilai akreditasi sekolah untuk memasukkan anaknya. Bagi sebagian besar orangtua di perkotaan, sekolah dengan peringkat akreditasi A, pasti memiliki fasilitas dan pelayanan pendidikan yang lebih baik dari pada sekolah dengan peringkat akreditasi di bawahnya.

Kondisi ini tidak banyak berlaku pada sekolah-sekolah di daerah pinggiran, terlebih pelosok. Masyarakat di daerah pinggiran atau pelosok tidak akan pernak memusingkan peringkat akreditasi sebuah sekolah. Bagi mereka sekolah yang berjarak dekat akan lebih dipilih daripada sekolah yang jauh. Pertimbangan jarak, menjadi pertimbangan utama mengingat transportasi yang ada untuk mencapai sekolah.

Bagi sekolah sendiri, saat menghadapi akreditasi akan menjadi boomerang. Sekolah yang memang menginginkan peringkat A harus benar-benar siap dengan segala sesuatunya. Baik dari segi administasi, pembiayaan maupun pelaksanaannya. Sekolah yang akan melaksanakan akreditasi akan disodorkan perangkat evaluasi diri sekolah. Dari perangkat inilah akan terlihat segala yang dimiliki oleh lembaga. Ada satu kenyataan yang sampai sekarang berkembang di sekolah. Saat mengisi evaluasi diri sekolah menginginkan nilai A, sehingga tidak melihat kenyataan di sekolahnya.

Hal ini lah yang nantinya justru akan menjadi boomerang bagi sekolah, utama kepala sekolah yang berperan penting sebagai manajer sekolah. Ketika tim akreditasi melaksanakan visitasi, maka akan terlihat kenyataan yang tidak sesuai dengan apa yang dituliskan dalam evaluasi diri sekolah. Bahkan ada kepala sekolah yang mengidam-idamkan nilai A, namun tidak melihat kenyataan di skeolah yang hanya memiliki kemampuan pada peringkat B. keinginan yang berlebih ini menjadi baik, jika dibarengai dengan kekuatan lain dari guru unutk mempersioapkan segala sesuatunya. Namun sepertinya bukan hal yang tabu lagi jika mendongkrak nilai akreditasi dengan cara yang kurang etis pun sering kali ditemui.


Jika peringkat akreditasi telah didapatkan dengan cara yang demikian, masihkah akan ada anggapan bahwa nilai akreditasai adalah sebuah prestasi. Sudah semestinya mengaca kembali, bagi pelaku pendidikan khususnya. Haruskah mencari nilai akreditasi dengan cara yang tidak sepatutnya demi sebuah prestise?