30 Maret 2018

Kisah Si Doraemon

        Kali ini aku mau berkisah yang rada-rada geli dan menjengkelkan. Ini kisahnya seputar si "Doraemon". Apa yang terpiirkan saat mendengar kata Doraemon? Si tokoh kartun nan lucu plus menggemaskan. Dia yang selalu memiliki segala macam solusi dari masalah yang dihadapi oleh Nobita. segala solusinya itu muncul dari balik saku bajunya yang dikenal sebagai "Kantong ajaib". Doraemon yang selalu sabar saat direcokin oleh Nobita, teman sekamarnya. Nobita yang anak kecil yang sejak dulu masih kanak-kanak sampai sekarang. padahal dulu Aku masih 6 tahun saat nonton pertama kali si Doraemon ini, dan sampai sekarang Si Nobita dan kawam-kawan belum beranjak dewasa juga. Padahal itu 30 tahun yang lalu. 
        Saat Nobita ingin terbang, tinggal bilangke Doraemon, "Doraemon, pinjam baling-baling bambunya dong!" atau saat Nobita ingin sekali melihat sekaligus memelihara ikan di kamarnya, namun tidak diperbolehkan oleh ibunya. Nah, Si Nobita tinggal bilang ke Doraemon begini, "Doraemon,...aku mau pelihara ikan di kamar. Bisa bantuin nggak?"  lalu Doraemon akan segera mengeluarkan alat canggihnya dari balik kantong ajaib "Kolam ajaib". Begitulah kira-kira, dunia Nobita yang suka sama Shizuka, dan sangat ketakutan kalau ada Giant Si gendut yang pemarah.      
        Nah, sekarang yang mau Aku ceritakan, mirip-mirip namanya sama Doraemon kartun itu. Tapi, jangan dikira ini sekedar nonton televisi di acara anak-anak minggu pagi ya. Ceritanya, lima hari yang lalu, ada pertemuan operator pengelola Bantuan Operasional Sekolah aliasn Si BOS. disana itu kumpulannya orang-orang yang selalu ngitung-ngitung angka kerjaannya. Mending kalau ngitung angka di lembaran-lembaran merah atau ijo. Ini sih ngitung angka di exel. Angkanya juga tidak banyak kok berkisar sepuluh sampai lima puluhan juta saja. 
        Singkat cerita, karena memang tidak penting menceritakan isi pertemuannya secara mendetail. Dikasihlah kita-kita para operator itu pekerjaan rumah untuk menyusun Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah Perubahan (RKASP).   si RKASP itu kudu dibuat dalam format exel dan diinput ke aplikasi yang telah disiapkan oleh bagian keuangan daerah. Nah, aplikasi inilah yang disebut-sebut sebagai si Doraemon. Nah, loh... apalagi ini. "Apakah aplikasinya punya kantong ajaib juga ya?" Pikirku. 
        Saatnya berburu aplikasi Doraemon. Batas waktu yang diberikan adalah lima hari setelah pertemuan, dan akan ada pertemuan lanjutan di tingkat Kecamatan masing-masing. Untuk menginput bersama-sama ke aplikasi Doraemon. Sampai batas waktu yang ditentukan, kita para operator ini masih labil, alias tidak tahu apa-apa mengenai Doraemon. Yang kita ketahui hanyalah aplikasi 'Simkeu" untuk input RKASP. Kalau aplikasi yang ini, kita sudah familier. Walaupun agak ribet pengerjaannya. Kemarin adalah hari yang ditentukan. Kita pun bertanya-tanya tentang di Doraemon. sampai ada kejelasan berikutnya. 
        akhir dari cerita ini sangat sederhana ternyata. Aplikasi Doraemon akan digunakan nanti oleh tim pencari fakta, eh... tim keuangan atau apalah namanya untuk pemisahan komponen belanja. Setelah kita para operator mengerjakan input RKASP dalam aplikasi yang sudah sangat familier yaitu simkeu. Padahal selama lima hari ini kita hanya mengerjakan format exel saja. input yang di simkeu masih belum tersentuh. Sedangkan tenggat waktu semakin sempit. Inilah akibat dari kesalahan informasi dan ketidak pahaman. Yang penting happy saja.

14 Maret 2018

Hakmu Adalah Hakku

Pernahkah ada orang yang meminta agar diberi sakit kepadanya? Tentu tidak, kalaupun ada seribu banding satu. Setiap kali seseorang menengadahkan tangan memohon kepada Tuhan pastilah memohon kesehatan, kelimpahan rejeki dan sabagainya. Sakit memang tidak diminta, namun dia dapat datang secara tiba-tiba.

Tapi jika dilihat lebih dalam lagi, sakit itu sebenarnya datang memenuhi sebuah undangan. Ya, undangan dari tubuh. Sadar atau tidak sadar banyak penyakit yang datang karena kelalaian menjaga tubuh sendiri. Kekhilafan, sebagimana yang orang bilang dapat menjadi pemicu penyakit hinggap.

Kata Ustadz Musa, "Jika mata sudah ngantuk, maka dia harus diberikan haknya untuk merem. Jika tidak, itu sama saja dengan mendholimi diri sendiri. Dan mendholimi diri sendiri itu termasuk perbuatan yang nggak baik. U..la...la...". Nah, point penting dari perkataan tersebut adalah setiap anggota tubuh memiliki hak. Mata punya hak untuk merem saat dia sudah pedes melihat layar 14 inchi. Kaki punya hak untuk diselonjorkan saat dia sudah kesemutan. Atau perut juga punya hak saat dia sudah keroncongan.

Hak setiap anggota tubuh, secara otomatis juga merupakan hak pribadi seseorang. Mengisi perut yang keroncongan, jika diabaikan akan menjadi masalah. Sekali dua kali masih dapat dimaafkan. Namun lambung, akan segera bereaksi menuntut haknya. Jadilah demonstrasi Si asam lambung di dalam perut. Sakit maag pun datang memenuhi undangan. Logika ini juga akan berjalan pada kondisi anggota tubuh lainnya.

So,... setiap hak yang dimiliki anggota tubuh pada dasarnya adalah cara mereka mempertahankan diri untuk tetap berjalan secara normal, tanpa ada gangguan.

5 Maret 2018

Kisah di Balik Kopdar Jogja

Griya Langen Guest House tanggal 3 - 4 Maret 2018 kemarin menjadi tempat yang tidak akan mudah dilupakan. Bukan karena tempatnya yang utama, acara yang ada di saat itulah yang tidak akan mudah lupa. "Kopdar ODOP 1 tahun 2018" judul acaranya. Inilah cerita fersiku di balik acara tersebut. 

Bermula dari obrolan di dunia maya dalam grup odop besar. Bahwa akan diadakan ketemuan akbar, bukan hanya tingkat regional saja, namun dari berbagai penjuru daerah. Mulai dari Padang, Bogor, Bandung, Tangerang, Jakarta, Klaten, Sragen, Jombang, Nganjuk, Surabaya. Mereka yang tergabung dalam acara tersebut benar-benar orang-orang yang hebat. 

Ditetapkanlah tanggal 3-4 Maret 2018 dan bertempat di Jogja sebagai puncak acara kopdar akbar tersebut. Sebagai orang Jogja asli yang lahir, besar, menikah dan sampai sekarang masih tinggal di Jogja, ini merupakan satu kebanggaan tersendiri. Betapa teman-teman saya yang hebat akan datang ke Kota Gudeg tercinta. Segala persiapan harus dilaksanakan sebaik mungkin. Maka grup panitia Kopdar ODOP pun dibentuk. Grup panitia ini berisi teman-teman yang berdomisili di Jogja dan sekitarnya, ditambah dengan Ketua umum ODOP Mas Septian. Panitia yang tergabung adalah Mbak Sakifah yang lahir di Gunung Kidul, namun sekarang tinggal di Jawa Timur, Mbak Ciani si imut berkacamata berdomisili di Delanggu Klaten, Pak Suparto sesepuh sekaligus penasehat ODOP yang berdomisili di Sragen, lalu saya sendiri. eh,... terakhir sengaja menyeret Pak Dhe Walimin ODOP 5 yang berdomisili di Jogonalan Klaten. 

Panitia yang berjumlah 6 orang ini membagi dirinya masing-masing sebagai koordinator sesuai dengan kemampuannya. tanpa ada penunjukan seperti lazimnya sunan panitia pada umumnya. Ada ketua, sekretaris, bendahara, dan seksi lain-lain. Panitia kopdar ODOP tidak seperti itu. Kami berenam tidak perlu ada penunjukan resmi harus melakukan tugas sebagai apa. Kecuali Mas Septian yang memang sudah menjabat sebagai Ketua umum ODOP besar, tetap memegang pucuk pimpinan. Mbak Sakifah menentukan run down acara kopdar, Mbak Ciani membantu membuatkan tulisan-tulisan yang digunakan sebagai properti narsisnya. Pak Suparto tetap selalu setia memberikan masukan dan nasehat, senantiasa membaca semua chat kami, walaupun jarang ikut nimbrung. Tapi, sekali dipanggil untuk memberikan masukan langsung siap graak. Pak Dhe Walimin yang terakhir saya seret ke grup panitia, dengan semangat 45 ikut membantu teman-teman yang membutuhkan jemputan dari stasiun. Nah, saya sendiri cuma bisa menyiapkan penginapan buat teman-teman.

Kisah di balik penyiapan penginapan dan rundown acara yang akhirnya digunakan sebagai tempat kopdar ODOP dapat disimak disini. Sengaja saya tulis dan bukan disampaikan sebagai cerita malam minggu. Sejak dibentuk grup panitia kopdar, saya langsung menyanggupkan diri unutk mencari penginapan di Jogja. Walaupun orang Jogja asli, urusan penginapan saya tidak tahun apa-apa. Dengan berbekal kenekatan browsing di internet. Semua situs penyedia hotel "diubek-ubek". Tadinya jumlah peserta baru sekitar 10 an orang. Ini agak lebih mudah untuk mencari penginapan dengan model homestay. Karena sebagian besar homestay di Jogja hanya menampung 10 hingga 15 orang. Dapatlah satu penginapan untuk kapasitas 15 orang. Tapi,... setelah kurang sekitar 2 minggu dari pelaksanaan, antusias teman-teman untuk mengikuti acara kopdar ODOP sangat luar biasa. Mencapai angka 32 belum kehitung yang bersama keluarganya. Alhamdulillah,... maka tidak perlu berfikir lama, penginapan itupun saya cancel. Kembali mencari homestay berkapasitas dua kali lipatnya. Maka didapatlah "Griya Langen Guesthouse" melalui situs Booking.com. 

Tanpa pakai survey awal, saya langsung pesan penginapan yang masih tersisa. Tadinya dua rumah, kemudian ditambah dua kamar khusus untuk Cak Heru yang mau Honey moon kedua, Kasihan kan kalau sampai diganggu oleh rombongan jomblo. satu kamar lagi khusus untuk Mbak Nova sekeluarga. Teman-teman lain yang membawa keluarga mengatakan tidak masalah untuk bergabung dengan lainnya. 

Sehari sebelum pelaksanaan, tepatnya tanggal 2 Maret 2018, saya menyempatkan mencari penginapan yang dimaksud. Meyakinkan diri untuk kenyamanan teman-teman nantinya di Jogja. sebelumnya juga menyempatkan untuk mampir numpang lewat di Candi Sambisari, rencananya pertemuan inti akan dilaksanakan di sana. Candi Sambisari cukup sejuk untuk pertemuan. Namun ternyata, pelaksanaan pertemuan inti harus berpindah tempat di penginapan saja. Maafkan untuk hal ini. 

Sabtu, 3 Maret sejak pukul 12.30 sudah standby menunggu kedatangan teman-teman ODOP yang dengan semangat menuju Jogja. Pukul 13 kurang sedikit, pendatang pertama yang datang adalah Cak Heru bersama isteri tercintanya. dilanjutkan Mbak Reisa yang minta dijemput ke Stasiun Lempuyangan. Menyusul Mbak Hiday berserta keluarganya. Berikutnya rombongan Mbak Nova bersama suami dan anaknya. tidak berselang lama ada rombongan Mbak Mabruroh, Bunda Tita, bersama Mas Rauf dan Mbak Nika. Berlanjut Pak Dhe Walimin yang datang dengan segelas eh, seplastik susu jahe, pesenanku. 

Senja pun mulai merambat, rombongan Mas Ian yang sudah datang ke Jogja sehari sebelumnya belum juga sampai ke penginapan. Mereka terlebih dahulu ke Gunung Kidul bersama Mbak Sakifah dan menginap di rumahnya pada malam sabtu. Akhirnya rombongan inipun mendarat di penginapan sekitar pukul 7 malem. Ada Mas Septian, Mas Fadli, Mas Alfian, Mas Luthfi, Mbak Irene, dan tentu saja sang guidenya Mbak Sakifah. Menjelang malam Mbak Ciani yang ngebut dari Delanggu, Klaten pun tiba. Kebahagiaan ini pun tumpah sudah. Bertemu dengan orang-orang luar biasa. Cerita pun mengalir kesana kemari, hingga malam tiba. Mereka baru masuk kamar masing-masing setelah ada acara ramah tamah sebentar, berlanjut acara ngobrol ngalor ngidul

Minggu dini hari, Mbak Sakifah dan Pak Dhe Wali yang menyatakan kesediaan menjemput Aa Gilang bela-belain diri tidak tidur agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Ditemani Cak Heru begadang. Kata Cak Heru "Jagain Mas Wali,". Akhirnya sampai jugalah Aa Gilang ke penginapan. Pukul 7 minggu pagi menyusul Iput. Maafkan tidak dapat menyambut kedatangan Iput, karena saya baru pulang ke rumah. 

Acara pun berlanjut, pagi hari di Jogja memberikan kesan tersendiri bagi para peserta kopdar ODOP. Menikmati aktivitas minggu pagi di Alun-alun kidul, tempat berkumpulnya orang-orang sekitar untuk keperluannya masing-masing. Berlanjut sarapan, dan persiapan untuk acara inti. Pada bagian ini maafkan juga saya yang tidak dapat menemani, karena masih dalam perjalanan kembali ke penginapan setalah pulang ke rumah. 

Menginjakkan kaki kembali ke penginapan, ternyata peserta telah bertambah. Acara pun sudah dimulai. Ada Mbak Leska bersama baby kecilnya yang mungil, beserta keluarga, Mbak Widya bersama keluarga, Mas Wakhid bersama keluarga, Mbak Tia yang baru kuketahui bahwa Dia juga orang Kasihan, Bantul. Kalau tahu dari awal pasti sudah kuajak menjadi bagian dari panitia. Kemudian Pak Suparto yang datang dengan diantar keponakannya. Menyusul kemudian Mas Muhammad yang merupakan adik dari Mbak Sakifah. 

Keseruan pun segera muncul. Obrolan literasi dan kemajuan ODOP pun mendominasi. Foto menjadi satu hal yang akan selalu mengabadikan kenangan kami. Selepas acara yang dipandu oleh Mas Luthfi, dan diskusi literasi dengan narasumber Mbak Hiday yang dipandu oleh Mbak Sakifah. Ada acara tukar kado yang berisi buku, dan pembagian kenang-kenangan berupa Mug cantik bergambar Kopdar Jogja dan logo ODOP. Acara inti diakhiri dengan doa yang dipimpin oleh Pak Dhe Walimin. 

Tak terasa kebersamaan selama dua hari harus segera diakhiri dengan perpisahan. Satu per satu teman-teman peserta kopdar ODOP meninggalkan penginapan untuk kembali ke rumah masing-masing dan beraktivitas sebagaimana biasanya. Sungguh, pertemuan dua hari masih terasa kurang. Semoga akan ada kopdar akbar berikutnya yang besar harapan kami dapat dihadiri oleh founder ODOP Bang Syaiha. 



25 Januari 2018

Beras Oh Beras

Harga beras berapaan sekarang ya? Naiknya berapa rupiah emangnya? Kamu itu dari planet mana saja? Sampai nggak tahu harga beras yang selangit tingginya. Salah ya, jika aku sampai tidak tahu sama sekali harga beras. Sefatal apakah jika aku nggak tahu akan hal ini. Apakah sefatal serangan gagal jantung.

Beras memang termasuk makan pokok yang sudah mendarah daging bagi masyarakat Indonesia. Apalagi orang Jawa, sudah makan macem-macem, tapi kalau belum nasi yang masuk mulut tetap saja namanya belum makan. Padahal pagi sudah segelas susu dan tiga potong roti. Masih ditambah pula camilan jajan pasar. Kue apem, sama arem-arem. Kenyang banget itu harusnya. Tapi, kalau belum nasi yang dimakan, maka namanya tetap saja belum sarapan. Busyeett... memang makan harus nasi ya.

Tapi, apapun opini masyarakat secara umum, makanan pokok tetaplah berpengaruh pada pola pikir dalam hal makanan. Beras sebagai bahan mentah nasi menjadi sangat urgent sifatnya. Jika beras tinggal segelas, alamat ibu-ibu sebagai Sang juru masak akan bingung dan pusing tujuh keliling. Duit nggak ada, nyari utangan ke warung sebelah sudah nggak berani lagi. Pinjem tetangga apalagi, sudah kena marah berkali-kali. Nunggu suami gajian kok ya masih sepuluh hari lagi.

Ini hanya salah satu contoh betapa beras akan mampu merubah kondisi psikis dari santai menjadi khawatir dan gelisah. Beras habis, nangis. Ada duit sedikit, rupanya tak cukup untuk membeli beras. Biasanya dapat sepuluh kilo, eh ini cuma dapat tujuh kilo. Ini baru berasnya saja. Belum sayuran dan lauk pendping nasi. Apa iya mau makan nasi sama garam saja?

Aduh, catatan pemasukan dan pengeluaran belanja sehari-hari menjadi morat-marit. Gaji suami tidak bertambah, tapi belanjanya harus dirubah gara-gara harga yang nggak stabil. Belum lagi kalau ada kebutuhan mendadak lainnya. Termasuk pula jika ada sanak famili yang punya hajat, kita pula ikut bingung. Pengeluaran tak terencana lainnya harus segera dicatat disana. Akhirnya sebelum akhir bulan, bahkan belum sampai pertengahan bulan uang sudah raib tak bersisa. Persediaan beras tinggal wadahnya yang menganga menanti untuk diisi kembali.

Kalau sudah begini, apa iya wadah itu mau diisi puisi begini:
Sebutir, dua butir kau sangat bermakna bagiku.
Laparku kan hilang, saat buliranmu telah matang dan empuk
Aroma yang menggoda jiwa
Huummm,... ini sangat harum.

Tanganku mencari-cari butiranmu
Dalam wadah kotak biru berhias keemasan
Tung..tung...tung
Tak ada yang bisa ku hitung
Dong...dong...dong
Tak ada beras, wadahnya kosong

Beras yang tak terbeli, sawah yang tidak bisa dipanen. Gaji suami juga sudah tidak cukup lagi. Anak-anak sudah minta nasi. Apa iya mau dikasih piring kosong saja? Haduuh, pusingnya jadi ibu rumah tangga kalau begini.

Beras Oh Beras

Harga beras berapaan sekarang ya? Naiknya berapa rupiah emangnya? Kamu itu dari planet mana saja? Sampai nggak tahu harga beras yang selangit tingginya. Salah ya, jika aku sampai tidak tahu sama sekali harga beras. Sefatal apakah jika aku nggak tahu akan hal ini. Apakah sefatal serangan gagal jantung.

Beras memang termasuk makan pokok yang sudah mendarah daging bagi masyarakat Indonesia. Apalagi orang Jawa, sudah makan macem-macem, tapi kalau belum nasi yang masuk mulut tetap saja namanya belum makan. Padahal pagi sudah segelas susu dan tiga potong roti. Masih ditambah pula camilan jajan pasar. Kue apem, sama arem-arem. Kenyang banget itu harusnya. Tapi, kalau belum nasi yang dimakan, maka namanya tetap saja belum sarapan. Busyeett... memang makan harus nasi ya.

Tapi, apapun opini masyarakat secara umum, makanan pokok tetaplah berpengaruh pada pola pikir dalam hal makanan. Beras sebagai bahan mentah nasi menjadi sangat urgent sifatnya. Jika beras tinggal segelas, alamat ibu-ibu sebagai Sang juru masak akan bingung dan pusing tujuh keliling. Duit nggak ada, nyari utangan ke warung sebelah sudah nggak berani lagi. Pinjem tetangga apalagi, sudah kena marah berkali-kali. Nunggu suami gajian kok ya masih sepuluh hari lagi.

Ini hanya salah satu contoh betapa beras akan mampu merubah kondisi psikis dari santai menjadi khawatir dan gelisah. Beras habis, nangis. Ada duit sedikit, rupanya tak cukup untuk membeli beras. Biasanya dapat sepuluh kilo, eh ini cuma dapat tujuh kilo. Ini baru berasnya saja. Belum sayuran dan lauk pendping nasi. Apa iya mau makan nasi sama garam saja?

Aduh, catatan pemasukan dan pengeluaran belanja sehari-hari menjadi morat-marit. Gaji suami tidak bertambah, tapi belanjanya harus dirubah gara-gara harga yang nggak stabil. Belum lagi kalau ada kebutuhan mendadak lainnya. Termasuk pula jika ada sanak famili yang punya hajat, kita pula ikut bingung. Pengeluaran tak terencana lainnya harus segera dicatat disana. Akhirnya sebelum akhir bulan, bahkan belum sampai pertengahan bulan uang sudah raib tak bersisa. Persediaan beras tinggal wadahnya yang menganga menanti untuk diisi kembali.

Kalau sudah begini, apa iya wadah itu mau diisi puisi begini:
Sebutir, dua butir kau sangat bermakna bagiku.
Laparku kan hilang, saat buliranmu telah matang dan empuk
Aroma yang menggoda jiwa
Huummm,... ini sangat harum.

Tanganku mencari-cari butiranmu
Dalam wadah kotak biru berhias keemasan
Tung..tung...tung
Tak ada yang bisa ku hitung
Dong...dong...dong
Tak ada beras, wadahnya kosong

Beras yang tak terbeli, sawah yang tidak bisa dipanen. Gaji suami juga sudah tidak cukup lagi. Anak-anak sudah minta nasi. Apa iya mau dikasih piring kosong saja? Haduuh, pusingnya jadi ibu rumah tangga kalau begini.

13 Januari 2018

Talenta, Anugerah Luar Biasa dari Tuhan

Talenta setiap manusia itu berbeda beda. Dua anak yang lahir dari rahim sama pun punya perbedaan. Seorang ibu yang memiliki dua anak pernah bercerita. Anak pertamanya memilikkemampuan yang kurang dalam berhitung, sehingga nilai matematika nya selalu jeblok. Namun anak ini memiliki talenta luar biasa dalam menulis cerita. Apapun yang dilihat dan dialami jadi sebuah cerita. Walaupun masih sederhana anak kelas empat sekolah dasar ini telah mampu menggali talentanya sejak dini.

Lain halnya dengan anak kedua dari Ibu tadi. Anak keduanya tidak suka membuat cerita. Pelajaran Bahasa Indonesia adalah hal yang tidak disukainya. Namun dalam urusan berhitung anak ini lebih jago. Sehingga mata pelajaran matematika menjadi favoritnya. Setiap kali ada tugas berhitung, diselesaikan sesegera mungkin tanpa harus disuruh. Berhitung bagi anak ini seperti sebuah permainan menarik. Maka tak heran jika nilai matematikanya selalu lebih baik dari kakaknya.

Kedua anak dalam cerita di atas lahir dari Ibu yang sama. Namun Tuhan tidak serta merta menjadikan talentanya sama. Maka tidak heran jika talenta manusia satu dengan lainnya tidaklah sama. Talenta merupakan anugerah dari Tuhan yang tidak terkira. Tidak ada yang bisa request kepada Tuhan untuk menginginkan sebuah talenta.

Talenta ada dari setiap anak yang dilahirkan. Talenta yang seringpula dikenal sebagai bakat ini tidak akan maksimal jika hanya dibiarkan. Ibarat tumbuhan, jika dirawat lebih baik, tentu hasilnya pun akan lebih maksimal. Bakat yang sudah dianugerahkan telah menjadi tugas dari setiap manusianya sendiri untuk mengasah, dan terus membinanya sehingga benar-benar menjadi bakat atau talenta yang luarbiasa. 

12 Januari 2018

Lebih Susah Menjadi Pembicara atau Pendengar

Debat seolah menjadi tema malam ini. Bukan debat politik, maupun kenegaraan yang menyangkut orang-orang hebat di ibukota sana. Debat "ngalor-ngidul" berbagai macam tema. Tidak perlu muluk-muluk, cukuplah seputar dunia mereka yang paling dekat.

Keinginan untuk tampil lebih di depan lainnya, dan menguasai lainnya seolah telah menjadi hal yang biasa. Setiap mereka yang mengacungkan tangannya menyentakkan pikiran. Semua
Saling berlomba memimpin untuk menjadi yang paling berpengaruh di ruangan ini. Bahkan kadang melupakan siapa sebetulnya yang berhak menjadi pimpinan.

Ternyata mempraktikkan teori yang telah diajarkan sejak jaman sekolah dasar tidak semudah membalik telapak tangan. Kata teori, menghargai pendapat orang lain itu sangat penting dalam berdemokrasi. Menghargai pendapat, atau sekedar mendengarkan saat orang lain berbicara, pada kenyataannya menjadi  pendengar jauh lebih sulit daripada menjadi pembicara.

Ketika seseorang telah mampu berbicara. Saat itulah dia telah menjadi pembicara hebat. Lambat laun akan semakin berkembang menjadi semakin hebat. Tidak perlu teori banyak untuk menjadi seorang pembicara. Hanya perlu sedikit keberanian dari dalam diri, jika akan berbicara di depan orang banyak. Sekali kata terucap, maka kata lain akan mengikut di belakangnya.

Sekarang mari perhatikan, bagaimana halnya dengan mendengar. Kemampuan seseorang untuk mendengarkan saat orang lain berbicara rupanya jauh lebih sulit. Terlebih saat orang yang menjadi pembicara tidak sejalan sama sekali dengan apa yang ada dalam benak pendengar. Sudah dapat dipastikan akan secepat kilat ada sambutan kalimat dari lainnya. Rupanya kemampuan mendengar menjadi kebutuhan yang perlu disikapi dengan lebih teliti.

Setiap pembicara dalam debat yang hebat dengan berbagai dalil yang luar biasa akan lebih santun saat dibarengi dengan pendengar yang luar biasa pula. Angan-angan ini bukan tak mungkin terjadi, selama setiap orang yang berada dalam satu ruang perdebatan menyimpan emosinya untuk mengedepankan logika dan kesantunan dalam perdebatan.