23 Mei 2017

Mahasiswa "Cuci Gudang"

Apa yang terpikirkan saat mendengar kata “cuci gudang”? Harga murah, diskon, barang lama, harga miring. Setidaknya itulah yang akan terbersit dalam benak. Cuci gudang memang identik dengan diskon, dan harga murah. Pada dasarnya istilah cuci gudang dikenal dalam istilah perdagangan. Dalam dunia perniagaan, cuci gudang  memiliki pengertian menjual barang yang menumpuk di gudang dengan berbagai macam strategi penjualan. Harga jual barang cuci gudang tidak selalu murah. Bisa jadi lebih mahal. Karena pada dasarnya cuci gudang adalah mengeluarkan barang yang menunpuk di gudang. Barang ini ada di gudang, bisa jadi karena tidak laku pada suatu masa, namun akan laku lagi dimasa yang lain.
Lantas, saat istilah “cuci gudang” ini disandingkan dengan kata mahasiswa, apa yang terpikirkan? Yups... bisa jadi apa yang ada di benak kita nyaris sama. Anak kuliahan yang sudah lama studinya tapi belum lulus juga. Pertanyaan berikutnua, memangnya ada ya mahasiswa cuci gudang? Dipungkiri atau tidak fakta berbicara, “that’s true” ada. Mari kita lihat ke sebuah kampus. Menurut wawancara yang telah saya lakukan beberapa hari yang lalu, dalam sebuah fakultas sedikitnya ada 5-10 mahasiswa berpredikat ini. Mari kita samakan dulu persepsi kita mengenai mahasiswa cuci gudang ini. Ini adalah mahasiswa yang sudah memasuki semester akhir, bahkan terancam dikeluarkan karena terlalu lama ngurus tugas akhir dan belum kelar-kelar juga.
Ternyata, predikat ini bukan hanya ada pada mahasiswa strata 1 (S1) saja. Sampai jenjang strata 3 (S3) pun ada. Pada jenjang S1 normalnya seorang mahasiswa mengikuti masa studinya selama 8-10 semester. Namun, kenyataannya ada yang sampai semester 14 alias 7 tahun baru lulus. Jenjang S2 sampai 8 semester baru rampung. Dan jangan dikira pada jenjang S3 tidak ada, justru lebih parah lagi karena ada mahasiswa S3 yang mulai masuk tahun 2013 dan hingga kini disertasinya masih mandeg di tengah jalan.
Fenomena (kalo boleh menyebutnya) ini memang banyak hal yang menjadi latar belakangnya. Mahasiswa S1 kebanyakan dikarenakan sibuk beraktivitas dalam suatu organisasi, lantas menjadi lupa akan tugas utamanya dalam menempuh studi. Ada pula yang mengatakan merasa malas saat menyusun skripsi, terlebih saat mendapatkan dosen pembimbing yang “perfectionis” namun sangat susah ditemui.
Pada jenjang S2 dan S3 persoalannya sedikit berbeda. Sebagian besar mahasiswa S2/S3 adalah pegawai baik negeri maupun swasta,  telah memiliki pekerjaan, dan telah memiliki tanggungan keluarga (sudah menikah). Maka pada kasus mahasiswa pascasarjana, ini lebih banyak dikarenakan faktor kesibukan kerjaan. Menemukan waktu yang tepat bagi mahasiswa untuk bertemu dosen pembimbing menjadi hal yang sedikit rumit. Terlebih bagi mahasiswa yang juga pekerja dengan jam kerja dan jadwal yang padat. Maka tak heran jika urusan kuliah harus dinomorduakan.
Tak pernah ada yang menyalahkan predikat ini. Toh pada akhirnya mereka juga akan menyandang gelar sarjana, magister atau doktor sekalipun. Apakah mahasiswa cuci gudang ini dapat dikatakan memiliki kualitas yang kurang dibandingkan dengan mahasiswa yang normal. Jawabnya tentu saja tidak. Mengingat banyak faktor yang menjadi penyebabnya tadi.
Menjalani sebuah studi lanjutan di perguruan tinggi adalah sebuah pilihan. Saat akan masuk, tentu bukan hanya sekedar ikut-ikutan saja biar sama dengan temannya. Jika ini sampai terjadi, tamatlah sudah. Memilih sebuah studi tentu harus diikuti dengan kesiapan segalanya. Siap terikat dengan mata kuliah, dosen, waktu kuliah, biaya, dan sebagainya. Tata aturan yang sedikit berbeda dengan sekolah menengah, menjadikan suatu tantangan tersendiri bagi mahasiswa tingkat S1.
Menjadi agak sulit pada mahasiswa sarjana/pascasarjana yang notabenenya juga sebagai pegawai. Ada dua sisi yang sama-sama ingin diperjuangkan. Studi dan pekerjaannya. Keduanya harus berjalan dengan baik. Bagaimanapun juga studi akan berdampak pada pekerjaannya, jika itu sebuah profesi yang memang menuntut adanya persyaratan kualifikasi pendidikan. Begitupun pekerjaannya akan berdampak pada studinya. Karena biaya studi tidak lain juga didapat dari gaji pekerjaannya.
Kerumitan demi kerumitan inilah yang kemudian menjadikan seorang mahasiswa dalam tingkatan apapun memutuskan untuk mengambil cuti bersemester-semester. Sekali lagi tak ada yang dapat menyalahkannya. Selama masih ada jalan tengah untuk merampungkan studi dengan cepat, maka itulah yang terbaik untuk dilakukan. Jika persoalan ada pada saat penyusunan karya akhir baik skripsi, tesis, maupun disertasi maka akan lebih baik jika segera merampungkan dari pada terus menerus menunda. Dosen pembimbing yang terlalu ideal, suatu saat juga akan luluh hatinya jika terus didekati. Mencari celah diantara waktu kerja untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliah tetap menjadi pilihan bagi mahasiswa yang juga pekerja.
So,... menjadi mahasiswa dengan predikat normal atau cuci gudang adalah pilihan kita sendiri. Menyerah dengan keadaan dan berputus asa hanya gara-gara tugas akhir yang tidak kelar-kelar tentu bukan pilihan yang bijak.

#menyemangati anggota ODOP yang lagi nyusun skripsi, tesis, maupun disertasi.

Mahasiswa "Cuci Gudang"

Apa yang terpikirkan saat mendengar kata “cuci gudang”? Harga murah, diskon, barang lama, harga miring. Setidaknya itulah yang akan terbersit dalam benak. Cuci gudang memang identik dengan diskon, dan harga murah. Pada dasarnya istilah cuci gudang dikenal dalam istilah perdagangan. Dalam dunia perniagaan, cuci gudang  memiliki pengertian menjual barang yang menumpuk di gudang dengan berbagai macam strategi penjualan. Harga jual barang cuci gudang tidak selalu murah. Bisa jadi lebih mahal. Karena pada dasarnya cuci gudang adalah mengeluarkan barang yang menunpuk di gudang. Barang ini ada di gudang, bisa jadi karena tidak laku pada suatu masa, namun akan laku lagi dimasa yang lain.
Lantas, saat istilah “cuci gudang” ini disandingkan dengan kata mahasiswa, apa yang terpikirkan? Yups... bisa jadi apa yang ada di benak kita nyaris sama. Anak kuliahan yang sudah lama studinya tapi belum lulus juga. Pertanyaan berikutnua, memangnya ada ya mahasiswa cuci gudang? Dipungkiri atau tidak fakta berbicara, “that’s true” ada. Mari kita lihat ke sebuah kampus. Menurut wawancara yang telah saya lakukan beberapa hari yang lalu, dalam sebuah fakultas sedikitnya ada 5-10 mahasiswa berpredikat ini. Mari kita samakan dulu persepsi kita mengenai mahasiswa cuci gudang ini. Ini adalah mahasiswa yang sudah memasuki semester akhir, bahkan terancam dikeluarkan karena terlalu lama ngurus tugas akhir dan belum kelar-kelar juga.
Ternyata, predikat ini bukan hanya ada pada mahasiswa strata 1 (S1) saja. Sampai jenjang strata 3 (S3) pun ada. Pada jenjang S1 normalnya seorang mahasiswa mengikuti masa studinya selama 8-10 semester. Namun, kenyataannya ada yang sampai semester 14 alias 7 tahun baru lulus. Jenjang S2 sampai 8 semester baru rampung. Dan jangan dikira pada jenjang S3 tidak ada, justru lebih parah lagi karena ada mahasiswa S3 yang mulai masuk tahun 2013 dan hingga kini disertasinya masih mandeg di tengah jalan.
Fenomena (kalo boleh menyebutnya) ini memang banyak hal yang menjadi latar belakangnya. Mahasiswa S1 kebanyakan dikarenakan sibuk beraktivitas dalam suatu organisasi, lantas menjadi lupa akan tugas utamanya dalam menempuh studi. Ada pula yang mengatakan merasa malas saat menyusun skripsi, terlebih saat mendapatkan dosen pembimbing yang “perfectionis” namun sangat susah ditemui.
Pada jenjang S2 dan S3 persoalannya sedikit berbeda. Sebagian besar mahasiswa S2/S3 adalah pegawai baik negeri maupun swasta,  telah memiliki pekerjaan, dan telah memiliki tanggungan keluarga (sudah menikah). Maka pada kasus mahasiswa pascasarjana, ini lebih banyak dikarenakan faktor kesibukan kerjaan. Menemukan waktu yang tepat bagi mahasiswa untuk bertemu dosen pembimbing menjadi hal yang sedikit rumit. Terlebih bagi mahasiswa yang juga pekerja dengan jam kerja dan jadwal yang padat. Maka tak heran jika urusan kuliah harus dinomorduakan.
Tak pernah ada yang menyalahkan predikat ini. Toh pada akhirnya mereka juga akan menyandang gelar sarjana, magister atau doktor sekalipun. Apakah mahasiswa cuci gudang ini dapat dikatakan memiliki kualitas yang kurang dibandingkan dengan mahasiswa yang normal. Jawabnya tentu saja tidak. Mengingat banyak faktor yang menjadi penyebabnya tadi.
Menjalani sebuah studi lanjutan di perguruan tinggi adalah sebuah pilihan. Saat akan masuk, tentu bukan hanya sekedar ikut-ikutan saja biar sama dengan temannya. Jika ini sampai terjadi, tamatlah sudah. Memilih sebuah studi tentu harus diikuti dengan kesiapan segalanya. Siap terikat dengan mata kuliah, dosen, waktu kuliah, biaya, dan sebagainya. Tata aturan yang sedikit berbeda dengan sekolah menengah, menjadikan suatu tantangan tersendiri bagi mahasiswa tingkat S1.
Menjadi agak sulit pada mahasiswa sarjana/pascasarjana yang notabenenya juga sebagai pegawai. Ada dua sisi yang sama-sama ingin diperjuangkan. Studi dan pekerjaannya. Keduanya harus berjalan dengan baik. Bagaimanapun juga studi akan berdampak pada pekerjaannya, jika itu sebuah profesi yang memang menuntut adanya persyaratan kualifikasi pendidikan. Begitupun pekerjaannya akan berdampak pada studinya. Karena biaya studi tidak lain juga didapat dari gaji pekerjaannya.
Kerumitan demi kerumitan inilah yang kemudian menjadikan seorang mahasiswa dalam tingkatan apapun memutuskan untuk mengambil cuti bersemester-semester. Sekali lagi tak ada yang dapat menyalahkannya. Selama masih ada jalan tengah untuk merampungkan studi dengan cepat, maka itulah yang terbaik untuk dilakukan. Jika persoalan ada pada saat penyusunan karya akhir baik skripsi, tesis, maupun disertasi maka akan lebih baik jika segera merampungkan dari pada terus menerus menunda. Dosen pembimbing yang terlalu ideal, suatu saat juga akan luluh hatinya jika terus didekati. Mencari celah diantara waktu kerja untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliah tetap menjadi pilihan bagi mahasiswa yang juga pekerja.
So,... menjadi mahasiswa dengan predikat normal atau cuci gudang adalah pilihan kita sendiri. Menyerah dengan keadaan dan berputus asa hanya gara-gara tugas akhir yang tidak kelar-kelar tentu bukan pilihan yang bijak.

#menyemangati anggota ODOP yang lagi nyusun skripsi, tesis, maupun disertasi.

2 Mei 2017

Kado Hardiknas

Kado Hardiknas,

Dua mei selalu diperingati sebagai hari pendidikan nasional. Ada yang istimewa pada harsiknas tahun 2017 kali ini. Tahun ini hardiknas sekaligus menjadi hari yang dinantikan oleh siswa-siswi SMA/SMK kelas XII. Setelah melalui perjuangan yang panjang dalam Ujian Nasional hari ini adalah hari pengumuman kelulusan. Lulus atau tidaknya mereka telah ditetapkan. Tinggal bagaimana mereka menyikapinya. Senang itu pasti menjadi ungkapan yang akan terlontar bagi mereka yang dinyatakan LULUS. Namun sebaliknya kecewa bahkan marah bisa jadi adalah luapan emosi dari mereka yang dinyatakan Tidak Lulus.
Seperti telah menjadi tradisi, pengumuman kelulusan selalu dibarengi dengan acara-acara pengekspresian kegembiraan. Konvoi, coret-coret baju seragam, hingga party yang berlebihan. Berbagai cara telah dilakukan oleh pihak sekolah untuk menekan kegiatan-kegiatan tersebut. Mulai dari pengumuman lewat surat, pengumuman lewat orang tua wali siswa, hingga adanya kegiatan renungan di sekolah. Itu semua dilakukan semata untuk menekan dampak buruk yang akan diakibatkan oleh adanya aksi coret baju maupun konvoi.
Pengumuman kelulusan siswa SMA/SMK tahun ini pun ternyata tak luput dari aksi coret baju seragam dan konvoi. Himbauan dan larangan dari sekolah seolah tak lagi digubris oleh mereka yang sedang mengekspresikan kegembiraannya. Ekspresi kegembiraan kelulusan siswa SMA/SMK kali ini seolah sengaja dibarengkan dengan peringatan hari pendidikan nasional. Ini adalah kado besar bagi bangsa ini.
Namun ternyata, kegembiraan kelulusan ini tiba-tiba saja menjadi berita duka yang mencoreng nama pendidikan. Klaten, dua mei 2017 sore sekitar pukul 15.30 konvoi kelulusan telah dilakukan ol3h siswa dari berbagai SMA/SMK. Pertemuan dua rombongan dari sekolah yang berbeda tentu saja tak dapat dihindarkan. Selanjutnya yang terjadi adalah tawuran, dan salibg serang. Bahkan ada siswa yang membawa senjata tajam. Tercatat sedikitnya 5 siswa terluka dalan insiden ini. Entah apa yang menjadi pemicu utamanya.
Luapan kegembiraan kelulusan, sejenak kemudian telah berubah menjadi luapan kemarahan dan tindakan anarkhis. Entah apa yang ada dalam pikiran anak-anak muda ini. Kegembiraan yang semestinya mereka rayakan, berubah menjadi kedukaan dalan sekejab. Luka yang cukup parah karena sabetan senjata tajam, lemparan botol, maupun batu mengharuskan menikmati kelulusan di ruang rumah sakit. Beberapa dari mereka yang terlibat tawuran pun diamankan oleh pihak kepolisian.
Sungguh tragedi ini memilukan hati kami para pelaku pendidikan yang pada hari ini menperingati hari pendidikan nasional. Ini adalah kado bagi kami para guru untuk terus menilik diri. Juga kado bagi kalian para siswa agar selalu mengingat.
#Hari pendidikan nasional
#02 Mei 2017

Mengintip Secuil Problematika Pendidikan Indonesia

Pendidikan bukanlah kata yang asing bagi telinga siapapun. Pun bagi seorang awam. Pendidikan sudah lazim didengar. Hanya saja pemaknaan kata pendidikan bagi sebagian orang bisa jadi sangat berbeda dengan sebagian yang lain. bagi orang awam akan menjadi biasa jika menyamakan pendidikan dengan sekolah. Bagi para siswa pendidikan sama halnya dengan belajar. Bagi para taruna pendidikan sama halnya dengan latihan. Pemaknaan yang berbeda-beda ini terjadi bukan tanpa alasan. Karena setiap orang memiliki keterbatasan dan pengalaman sendiri-sendiri, sehinga dalam pengartian sebuah kata pun akan senantiasa diakaitkan dengan apa yang menjadi tugas, kebiasaan, dan pengalaman mereka sendiri.

Lantas apa sebenarnya pendidikan itu? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2000), pendidikan adalah: 1) proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia  melalui upaya pengajaran dan pelatihan; 2) proses atau cara, perbuatan mendidik. Sedangkan menurut UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam pasal 1, pendidikan adalah “usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.

Jika dilihat dua hal di atas pun telah memiliki perbedaan pemaknaan. Pemaknaan pertama menurut KBBI. Pendidikan lebih dipandang sebagai suatu usaha pengubahan sikap atau tingkah laku. Ini berarti menyangkut kehidupan di semua usia. Maka tak heran jika pendidikan dirunut dari arti ini, akan berlaku semenjak usia kecil. Pendidikan dalam arti ini lebih mengacu kepada pembentukan sikap, yang berarti akan lebih mengarahkan kepada pendidikan yang bersifat informal. Pendidikan dalam keluarga yang telah dilakukan semenjak seorang anak masih bayi menjadi salah satu makna di dalam pengertian ini.

Makna kedua melihat dari arti yang dijelaskan dalam Undang-undang Sisdiknas. Pemaknaan pendidikan dalam UU ini lebih mengarah kepada pendidikan yang terjadi di sebuah lembaga secara formal. Ini memang sudah selayaknya demikian. Mengingat pengguna UU sisdiknas ini akan berkaitan langsung dengan dunia pendidikan di sektor formal dan non formal.

Terlepas dari perbedaan pemaknaan tersebut, pendidikan di Indonesia memiliki sejarah dan masalah tersendiri. Pendidikan di Indonesia hingga saat ini terasa seperti seorang remaja yang tengah mencari jati diri. Walaupun telah bertahun-tahun Indonesia merdeka. Bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka, lembaga pendidikan di Indonesia telah ada. Namun sejauh dan selama itu, pendidikan masih saja belum menemukan formula yang tepat untuk diterapkan di negara ini.

Lihatlah dari kurikulum, sumber daya manusia, sarana, bahkan yang paling pelik adalah pembiayaan. Kurikulum pendidikan di Indonesia sudah berapa kali berganti? Semenjak menggunakan kurikulum yang murni berbasis materi, kompetensi, hingga sikap. Dari sekian kali pergantian ini bukan tanpa menyisakan sisi positif dan negatif. Setiap negara memang memerlukan perkembangan dan peningkatan kualitas. Hanya saja kurikulum yang akhir-akhir ini sering berganti telah menyebabkan kehebohan tersendiri bagi kalangan pengguna dan pelaku pendidikan di tingkat bawah.

Belum lama ini, sekitar dua tahun yang lalu.  Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) diganti secara total dengan kurikulum 2013. Semua sekolah dikenakan kewajiban menggunakan kurikulum ini. Konsekuensinya semua sarana pembelajaran (baca buku) berganti. Pergantian buku pelajaran bukan hanya menjadi dilema sekolah, namun juga wali murid. Belum sampai satu tahun kebijakan ini berlaku. Tiba-tiba saja ada penghentian pemberlakuan kurikulum 2013 unutk semua sekolah yang bukan sasaran. Praktis hanya satu semester sekolah yang bukan sasaran, melaksanakan kurikulum 2013. Belum selesai persoalan buku baru untuk kurikulum 2013 pada semester sebelumnya, tiba-tiba dihadapkan lagi dengan kembalinya kurikulum ke KTSP.

Pergantian kurikulum yang terkesan “dadakan” ini menimbulkan berbagai opini. Mulai dari ketidaksiapan pemerintah menggagasnya, hingga kurangnya serapan dana untuk mengimplementasikan kurikulum yang baru. Persoalan kurikulum ini baru dilihat dari sisi luarnya saja. Belum lagi jika ditilik dari sisi dalamnya. Apapun bentuk kurikulum yang diberlakukan di Indonesia, pertanyaan yang sama akan selalu diungkapkan. Pernahkan Indonesia hingga detik ini memiliki kurikulum yang pure diciptakan  sendiri?

Beralih kepada persoalan lainnya. Sumber daya manusia pendidikan. Apakah ini sama dengan guru? Ya,  jika itu dimaknai secara sempit. Karena bagaimanapun juga guru adalah sumber daya manusia yang memiliki peran sangat penting dan strategis dalam menjalankan pendidikan. Walalupun jika dillihat dari sisi yang lebih luas, sumber daya manusia pendidikan bukanlah hanya guru saja. Guru pun bukan tidak memiliki masalah. Upaya peningkatan sumber daya guru memang talah dilakukan oleh pemerintah yakni dengan adanya gagasan sertifikasi guru. Setelah sepuluh tahun berjalan, sertifikasi guru menuai berbagai macam kontroversi. Bagi guru yang telah bisa menikmati kebijakan ini, sertifikasi merupakan penghargaan yang luar biasa, mengingat selama bertahun-tahun guru dikenal sebagai pahlawan tanpa tanda jasa.

Program sertifikasi guru bisa jadi adalah terobosan dari pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan guru. Dengan harapan mereka tidak perlu lagi “nyambi” pekerjaan lainnya. Sehingga fokus untuk mendidik menjadi lebih baik. Apakah tujuan ini tercapai? Tidak juga. Program ini pada satu sisi memang mampu mendongkrak kesejahteraan guru. Ini terbukti dengan adanya peningkatan yang cukup tajam dari pendaftaran haji semenjak tahun 2008 hingga sekarang, dan guru menempati posisi yang tinggi di dalamnya sebagai pengantri. Namun disisi yang lainnya, program ini telah menimbulkan kecemburuan diantara sesama guru. Karena pada kenyataanya guru yang telah menyandang titel sertifikasi tidak lebih baik kinerjanya dari guru yang bahkan masih berstatus sebagai guru tidak tetap alias guru wiyata bhakti.

Kecemburuan ini akan tetap merebak. Manakala insentif tidak sebanding dengan kinerjanya. Berbagai solusi telah dicoba diterapkan bagi guru-guru sertifikasi ini. Adanya penilaian kinerja guru, uji kompetensi guru (UKG), hingga program guru pembelajar sebagai kelanjutannya. Namun rupanya lagi-lagi program-program ini menemui jalan buntu. Alih-alih meningkatkan kualitas guru, program peningkatan kualitas guru ini justru dianggap menambah beban terutama bagi mereka yang telah memasuki usia 50 ke atas. Sehingga pada pelaksanaannya jelas tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Membicarakan persoalan pendidikan di Indonesia memang tidak akan pernah ada habisnya. Bagaikan jamur yang tumbuh terus menerus di tanah lembab. Pendidikan akan selalu menyisakan persoalan. Suatu kali Indonesia sudah semestinya mencari sebuah formula yang tepat bagi pendidikan ini. Bukan hanya sekedar mengadopsi kurikulum dari negara lain. namun suatu ketika Indonesia harus mampu merumuskannya sendiri. Menciptakan sebuah kurikulum yang memang sesuai dengan apa yang dibutuhkan di negara ini, sesuai dengan budaya, serta kehidupan penduduk Indonesia yang beragam.

Persoalan sertifikasi guru yang berkaitan langsung dengan kinerja, sangat mungkin memerlukan sebuah pemikiran panjang untuk mengatasinya. Bagaimanapun juga kinerja tidak semata-mata hanya dipengaruhi oleh faktor finansial saja. Kecenderungan penurunan kinerja seolah telah menjadi tradisi bagi guru-guru dengan usia di atas 50 tahun. Walaupun tidak secara keseluruhan terjadi. Kondisi ini sepertinya telah diperhatikan oleh pemerintah. Hanya saja terobosan dan program yang diterapkan untuk kembali mengangkat kinerja mereka belum lagi mendapatkan titik terang. Program guru pembelajar yang digagas tahun 2016 yang lalu, dirasa terlalu berat bagi guru-guru di atas usia 50 tahun. Maka perlu program yang lebih fleksibel bagi mereka. Jelas diperlukan adanya pembedaan penanganan dalam hal peningkatan kualitas guru bagi usia-usia di atas 50 tahun. Pelatihan yang lebih simple namun aplikatif akan lebih mengena bagi mereka, dibandingkan pelatihan dengan menggunakan media komputer dan jaringan.

#Hari Pendidikan Nasional

#02 Mei 2017