Setiap lembaga pendidikan pasti akan mengalami akreditasi,
untuk mendapatkan pengakuan. Baik pengakuan dari masyarakat bahwa sekolah
tersebut benar-benar ada. Maupun pengakuan dari pemerintah. Akreditasi adalah kegiatan
yang dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan satuan pendidikan pada
jalur pendidikan formal dan non formal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan
berdasarkan kriteria yang bersifat terbuka. Kelayakan sebuah lembaga pendidikan
akan ditentukan oleh sebuah lembaga akreditasi yakni Badan Akreditasi Nasional
(BAN). Untuk tingkat sekolah/madrasah terdapat Badan Akreditasi
Sekolah/Madrasah (BAN-S/M) sedangkan pada tingkatan Perguruan tinggi terdapat
Badan Akreditasi Perguruan Tinggi (BAN-PT).
Akreditasi sekolah akan dilakukan secara berkala yakni dalam
jangka waktu 5 tahun. Setiap 5 tahun lembaga pendidikan mau tidak mau akan
menghadapi kenyataan unutk mengikuti penilaian sesuai prosedur yang telah
ditetapkan oleh BAN. “Pada tahun 2017, akan dialokasikan sekitar 30.000
sekolah/madrasah untuk diakreditasi melalui APBN Kemdikbud tahun 2017. Hal ini
disampaikan Abdul Mu’ti, Ketua Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah
(BAN-S/M) pada kegiatan Pembukaan Rakornas I BAN-S/M dan BAP-S/M Tahun 2017 di
Hotel Shantika Bintaro, Tangerang Selatan. Rakornas akan berlangsung selama
tiga hari dari tanggal 5 sampai 7 Februari 2017 dengan peserta sebanyak 136
orang berasal dari pengurus Badan Akreditasi Provinsi Sekolah/madrasah
(BAP-S/M) seluruh Indonesia”(menara62.com).
BAN-S/M telah menentukan standar penilaian dalam perangkat
akreditasi. Tahun 2017 ini proses akreditasi Sekolah/Madrasah mengalami sedikit
perubagahn dalam perangkatnya. Perangkat akreditasi yang dahulu masih
berdasarkan standar kurikulum 2006, tahun ini berganti mengikuti standar
kurikulum 2013. Jumlah komponen pun mengalami perubahan, menjadi 119 komponen
yang terbagi dalam delapan standar, yang meliputi standar isi, proses,
kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga pendidik, sarana dan prasarana,
pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian.
Kedelapan standar ini memiliki kriteria sendiri-sendiri yang
nantinya akan menentukan nilai setiap komponennya. Nilai akhir dari akreditasi
ini lah yang nantinya akan menentukan layak dan tidaknya sebuah lembaga
pendidikan. Kriteria penilaian yang digunakan oleh BAN-S/M tahun ini pun
mengalami sedikit perbedaan. Peringkat A (unggul) harus mendapatkan nilai
antara 91-100, peringkat B (baik) dengan nilai 81 – 90, peringkat C (cukup) dengan nilai 71 –
80. Sekolah/Madrasah yang mendapatkan nilai di bawah itu maka tidak akan
terakreditasi.
Peringkat kreditasai pada sebagian besar sekolah merupakan
sebuah sarana yang sangat urgent
dalam ajang promosi sekolah. Tidak jarang sekolah yang membuat brosur dengan
menampilkan nilai akrediatasinya. Sekolah-sekolah di daerah perkotaan akan
menganggap sangat penting niali akreditasi. Karenan persaingan perebutan siswa
baru di daerah perkotaan sangat dipenbgaruhi oleh nilai ini. Orangtua siswa
tetap akan mempertimbangkan nilai akreditasi sekolah untuk memasukkan anaknya.
Bagi sebagian besar orangtua di perkotaan, sekolah dengan peringkat akreditasi
A, pasti memiliki fasilitas dan pelayanan pendidikan yang lebih baik dari pada
sekolah dengan peringkat akreditasi di bawahnya.
Kondisi ini tidak banyak berlaku pada sekolah-sekolah di
daerah pinggiran, terlebih pelosok. Masyarakat di daerah pinggiran atau pelosok
tidak akan pernak memusingkan peringkat akreditasi sebuah sekolah. Bagi mereka
sekolah yang berjarak dekat akan lebih dipilih daripada sekolah yang jauh.
Pertimbangan jarak, menjadi pertimbangan utama mengingat transportasi yang ada
untuk mencapai sekolah.
Bagi sekolah sendiri, saat menghadapi akreditasi akan
menjadi boomerang. Sekolah yang
memang menginginkan peringkat A harus benar-benar siap dengan segala
sesuatunya. Baik dari segi administasi, pembiayaan maupun pelaksanaannya.
Sekolah yang akan melaksanakan akreditasi akan disodorkan perangkat evaluasi
diri sekolah. Dari perangkat inilah akan terlihat segala yang dimiliki oleh
lembaga. Ada satu kenyataan yang sampai sekarang berkembang di sekolah. Saat
mengisi evaluasi diri sekolah menginginkan nilai A, sehingga tidak melihat
kenyataan di sekolahnya.
Hal ini lah yang nantinya justru akan menjadi boomerang bagi
sekolah, utama kepala sekolah yang berperan penting sebagai manajer sekolah.
Ketika tim akreditasi melaksanakan visitasi, maka akan terlihat kenyataan yang
tidak sesuai dengan apa yang dituliskan dalam evaluasi diri sekolah. Bahkan ada
kepala sekolah yang mengidam-idamkan nilai A, namun tidak melihat kenyataan di
skeolah yang hanya memiliki kemampuan pada peringkat B. keinginan yang berlebih
ini menjadi baik, jika dibarengai dengan kekuatan lain dari guru unutk
mempersioapkan segala sesuatunya. Namun sepertinya bukan hal yang tabu lagi
jika mendongkrak nilai akreditasi dengan cara yang kurang etis pun sering kali
ditemui.
Jika peringkat akreditasi telah didapatkan dengan cara yang
demikian, masihkah akan ada anggapan bahwa nilai akreditasai adalah sebuah
prestasi. Sudah semestinya mengaca kembali, bagi pelaku pendidikan khususnya.
Haruskah mencari nilai akreditasi dengan cara yang tidak sepatutnya demi sebuah
prestise?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar