3 Agustus 2017

Akreditasi sekolah, Prestasi atau Prestise



Setiap lembaga pendidikan pasti akan mengalami akreditasi, untuk mendapatkan pengakuan. Baik pengakuan dari masyarakat bahwa sekolah tersebut benar-benar ada. Maupun pengakuan dari pemerintah. Akreditasi adalah kegiatan yang dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan non formal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan berdasarkan kriteria yang bersifat terbuka. Kelayakan sebuah lembaga pendidikan akan ditentukan oleh sebuah lembaga akreditasi yakni Badan Akreditasi Nasional (BAN). Untuk tingkat sekolah/madrasah terdapat Badan Akreditasi Sekolah/Madrasah (BAN-S/M) sedangkan pada tingkatan Perguruan tinggi terdapat Badan Akreditasi Perguruan Tinggi (BAN-PT).

Akreditasi sekolah akan dilakukan secara berkala yakni dalam jangka waktu 5 tahun. Setiap 5 tahun lembaga pendidikan mau tidak mau akan menghadapi kenyataan unutk mengikuti penilaian sesuai prosedur yang telah ditetapkan oleh BAN. “Pada tahun 2017, akan dialokasikan sekitar 30.000 sekolah/madrasah untuk diakreditasi melalui APBN Kemdikbud tahun 2017. Hal ini disampaikan Abdul Mu’ti, Ketua Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN-S/M) pada kegiatan Pembukaan Rakornas I BAN-S/M dan BAP-S/M Tahun 2017 di Hotel Shantika Bintaro, Tangerang Selatan. Rakornas akan berlangsung selama tiga hari dari tanggal 5 sampai 7 Februari 2017 dengan peserta sebanyak 136 orang berasal dari pengurus Badan Akreditasi Provinsi Sekolah/madrasah (BAP-S/M) seluruh Indonesia”(menara62.com).

BAN-S/M telah menentukan standar penilaian dalam perangkat akreditasi. Tahun 2017 ini proses akreditasi Sekolah/Madrasah mengalami sedikit perubagahn dalam perangkatnya. Perangkat akreditasi yang dahulu masih berdasarkan standar kurikulum 2006, tahun ini berganti mengikuti standar kurikulum 2013. Jumlah komponen pun mengalami perubahan, menjadi 119 komponen yang terbagi dalam delapan standar, yang meliputi standar isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga pendidik, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian.

Kedelapan standar ini memiliki kriteria sendiri-sendiri yang nantinya akan menentukan nilai setiap komponennya. Nilai akhir dari akreditasi ini lah yang nantinya akan menentukan layak dan tidaknya sebuah lembaga pendidikan. Kriteria penilaian yang digunakan oleh BAN-S/M tahun ini pun mengalami sedikit perbedaan. Peringkat A (unggul) harus mendapatkan nilai antara 91-100, peringkat B (baik) dengan nilai  81 – 90, peringkat C (cukup) dengan nilai 71 – 80. Sekolah/Madrasah yang mendapatkan nilai di bawah itu maka tidak akan terakreditasi.

Peringkat kreditasai pada sebagian besar sekolah merupakan sebuah sarana yang sangat urgent dalam ajang promosi sekolah. Tidak jarang sekolah yang membuat brosur dengan menampilkan nilai akrediatasinya. Sekolah-sekolah di daerah perkotaan akan menganggap sangat penting niali akreditasi. Karenan persaingan perebutan siswa baru di daerah perkotaan sangat dipenbgaruhi oleh nilai ini. Orangtua siswa tetap akan mempertimbangkan nilai akreditasi sekolah untuk memasukkan anaknya. Bagi sebagian besar orangtua di perkotaan, sekolah dengan peringkat akreditasi A, pasti memiliki fasilitas dan pelayanan pendidikan yang lebih baik dari pada sekolah dengan peringkat akreditasi di bawahnya.

Kondisi ini tidak banyak berlaku pada sekolah-sekolah di daerah pinggiran, terlebih pelosok. Masyarakat di daerah pinggiran atau pelosok tidak akan pernak memusingkan peringkat akreditasi sebuah sekolah. Bagi mereka sekolah yang berjarak dekat akan lebih dipilih daripada sekolah yang jauh. Pertimbangan jarak, menjadi pertimbangan utama mengingat transportasi yang ada untuk mencapai sekolah.

Bagi sekolah sendiri, saat menghadapi akreditasi akan menjadi boomerang. Sekolah yang memang menginginkan peringkat A harus benar-benar siap dengan segala sesuatunya. Baik dari segi administasi, pembiayaan maupun pelaksanaannya. Sekolah yang akan melaksanakan akreditasi akan disodorkan perangkat evaluasi diri sekolah. Dari perangkat inilah akan terlihat segala yang dimiliki oleh lembaga. Ada satu kenyataan yang sampai sekarang berkembang di sekolah. Saat mengisi evaluasi diri sekolah menginginkan nilai A, sehingga tidak melihat kenyataan di sekolahnya.

Hal ini lah yang nantinya justru akan menjadi boomerang bagi sekolah, utama kepala sekolah yang berperan penting sebagai manajer sekolah. Ketika tim akreditasi melaksanakan visitasi, maka akan terlihat kenyataan yang tidak sesuai dengan apa yang dituliskan dalam evaluasi diri sekolah. Bahkan ada kepala sekolah yang mengidam-idamkan nilai A, namun tidak melihat kenyataan di skeolah yang hanya memiliki kemampuan pada peringkat B. keinginan yang berlebih ini menjadi baik, jika dibarengai dengan kekuatan lain dari guru unutk mempersioapkan segala sesuatunya. Namun sepertinya bukan hal yang tabu lagi jika mendongkrak nilai akreditasi dengan cara yang kurang etis pun sering kali ditemui.


Jika peringkat akreditasi telah didapatkan dengan cara yang demikian, masihkah akan ada anggapan bahwa nilai akreditasai adalah sebuah prestasi. Sudah semestinya mengaca kembali, bagi pelaku pendidikan khususnya. Haruskah mencari nilai akreditasi dengan cara yang tidak sepatutnya demi sebuah prestise?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar