Aku benar-benar kehabisan akal. Batas waktu tinggal menghitung jam saja. Tak sampai 12 jam, dan semuanya akan berakhir. Kakiku masih saja di dalam kamar ini. Hilir mudik sejak tiga jam yang lalu. Duduk di atas kursi butut di pojok kamar. Sebentar kemudian pindah ke kasur yang tak kalah bututnya. Sebentar kemudian berdiri di ambang jendela. Lalu duduk lagi. Inilah yang kulakukan sejak pulang dari acara kampus sore tadi.
Azan maghrib baru saja selesai berkumandang saat aku menginjakkan kaki ke kamar kos yang tak seberapa besar. Kamar dengan ukuran 3x3 m dengan perabot yang super minimalis inilah yang telah menjadi istanaku selama 4 tahun kuliah di Kota Gudeg. Tahun ini sudah kubulatkan tekad harus dapat menyelesaikan skripsi yang telah tertunda satu semester. Setelah seminar proposal, aku tidak meneruskan tugas akhirku. Membiarkannya menumpuk di atas meja, bersama kertas-kertas lain yang tidak penting.
Lalu hari ini, aku pun mendapat ultimatum dari kampus, yang intinya agar segera menyelesaikan skripsi. Atau pulang kampung tanpa gelar. Apa kata Emak dan Bapak nanti jika aku sampai pulang tanpa membawa gelar.
"Balqis, instrumen penelitian ini sudah saya setujui, tinggal direvisi sedikit pada bagian indikator ketiganya. Setelah itu kau boleh lanjutkan ke penelitiannya."
Inilah kalimat terakhir Pak Arif Budiman Dosen pembimbingku. Enam bulan yang lalu aku telah siap menuju ke lapangan untuk penelitian. Sebelum semuanya menjadi runyam, dan dunia seolah hancur di hadapanku.
"Mut, kau tahu apa yang paling kutakutkan kini?" Tangisku di hadapan sahabat terbaikku. Aku tengah berada di kamar kos Mutia sejak pagi. Mutia adalah teman sekelasku, yang hampir menyelesaikan skripsinya. Tinggal bimbingan satu kali lagi dan selesailah sudah.
"Apa?" Mutia membawakanku segelas air putih hangat.
"Sebentar lagi kau akan ujian skripsi, lulus, wisuda dan pulang kampung. Sementara aku, enam bulan tanpa ada kemajuan, sebentar lagi akan sendirian di kampus. Bahkan aku tak tahu harus memulainya lagi dari mana." Mutia menggeser duduknya mendekapku.
"Hei, Balqis. Kenapa harus bersedih. Aku sudah sering memberikan semangat kepadamu agar kau segera bangkit. Data yang hilang dapat kau cari lagi. File skripsimu yang ada di laptop bukankah sudah kau backup di flasdisk juga kan?"
Enam bulan aku masih saja terpuruk dengan hilangnya laptop kesayanganku. Bukan laptopnya yang kusesalkan. Namun semua data skripsi mulai dari bab satu hingga bab tiga ada disana semua. Instrumen dan hasil penelitian pun turut raib. Sebulan setelah aku mendapat acc dari Pak Arif untuk terjun ke lapangan, dan telah mendapatkan data. Seorang maling berhasil menggondol laptop kesayanganku.
"Ayolah, Balqis. Sudah saatnya kamu bangkit. Ayo kembali kepada skripsimu. Cukup sudah kau menyesali kehilanganmu. Setidaknya kau masih punya print out bab 1 sampai 3 dan instrumennya kan? Mutia menyadarkanku dari lamunan.
Setelah laptopku hilang, skripsiku memang tidak berjalan dengan lancar. Aku kehilangan semua data. Bahkan, backup data di flasdisk yang telah kubuat ternyata terserang virus, sehingga hilang semuanya. Praktis aku seperti kehilangan segalanya. Siang tadi, aku mengurus registrasi semesteran, dan mendapatkan ultimatum yang kini membuatku mondar-mandir tak keruan di dalam kamar.
"Namamu Balqis Azzahra, bukan?" Seorang gadis mendatangiku secara tiba-tiba di serambi masjid kampus.
"Eh, iya. Benar. Kamu siapa?" Tanyaku sambil mengerutkan kening. Aku tak merasa kenal dengan gadis ini. Umurnya tidak jauh berbeda denganku. Mungkin dia juga mahasiswa di kampus ini.
"Saya Imah, mahasiswa semester dua di Fakultas hukum, maaf Mbak Balqis apakah benar mbak sedang menyusun skripsi?" Gadis di depanku bertanya dengan sopannya. Ternyata dia memang mahasiswa di kampus ini. Berbeda angkatan dan jurusan denganku. Aku berada di jurusan Ilmu Pendidikan, sedangkan Dia di Fakultas Hukum.
"Eh, iya. Ada apa ya Dik? Kututup buku yang sejak tadi kupegang.
"Begini mbak. Tapi maaf juga sebelumnya apakah Mbak Balqis pernah kehilangan data skripsi?" Bagai disambar petir. Akupun kaget dibuatnya. Bagaimana bisa gadis ini tahu kalau aku pernah kehilangan data skripsiku.
Imah tampak membuka laptop mungilnya. Lantas membuka sebuah file yang sangat umum dibuat oleh mahasiswa tingkat akhir saat menyusun skripsi. BAB I, BAB II, dan BAB III ketiga file ini langsung dibuka semua oleh Imah.
Aku masih belum mengerti apa yang dilakukannya. Namun, Imah kembali memberikan sebuah kejutan kepadaku. Begitu layar telah berganti menjadi microsoft word dengan file BAB I, disodorkannya laptop mungil itu kepadaku.
"Mbak Balqis coba baca!" Kalimat demi kalimat kutelusuri.
"Ini, tapi tidak mungkin." Pekikku tertahan.
"Jadi, Mbak kenal dengan tulisan ini?" Aku membaca semua file yang telah dibuka oleh Imah.
"Tapi, bagaimana mungkin data ini bisa ada padamu? Ini kan..." masih dalam kebingungan, aku tak mampu berkata-kata.
"Ya Mbak, data itu saya temukan di sebuah flasdisk. Flasdisk itu sendiri saya temukan di jalan masuk kampus ini sekitar dua bulan yang lalu. Awalnya saya akan memformat flasdisk itu agar dapat digunakan. Namun, iseng-iseng saya buka. Kok isinya data skripsi semua. Di setiap folder tetulis nama-nama mahasiswa pemilik skripsi tersebut. Kupikir, mungkin ini flasdisk milik rentalan komputer di depan kampus itu. Tapi ternyata bukan. Lantas saya mulai mencari nama-nama yang ada di dalam folder tersebut. Salah satunya nama Mbak Balqis ada disana."
"Terima kasih sekali ya Dik, aku sangat memerlukan data ini. Setelah enam bulan yang lalu, laptopku hilang dicuri. Kini entah bagaimana caranya, data ini bisa kembali lagi kepadaku melalui perantaraan kamu." Tak terasa air mataku mengalir. Doa panjang di sujudku malam tadi dijawab langsung oleh Allah. Siang ini seluruh dataku kembali lagi. Entah si maling merasa kasihan kepada mahasiswa-mahasiswa yang menjadi korbannya. Ataukah ada misteri lain yang tak dapat kumengerti. Yang jelas aku kini dapat menyelesaikan skripsiku yang tertunda satu semester lamanya.
Seperti nyata. Seolah membaca kisah sejati.
BalasHapusKeren ceritanya mbak Juni
BalasHapusNama tokohnya seperti adik tingkatku
BalasHapus