4 Mei 2016
Episode Ratih 2
Ratih mengenang percakapan dengan suaminya beberapa bulan yang lalu. Mungkin enam atau tujuh bulan yang lalu. Saat itu anak kedua mereka berulang tahun keempat. Suaminya menginginkan satu anak lagi. Kedua anaknya perempuan semua. Suaminya ingin ada anak laki-laki di rumah mereka yang mungil.
"Ini Pa," tutur Ratih seraya menyerahkan stik sensitif.
"Apa ini,Ma."
"Lihat saja sendiri, itukan yang Papa harapkan?"
"Dobel strip, Alhamdulillah...Terimakasih Tuhan. Terimakasih ya,Ma. Semoga saja kali ini laki-laki." Penuh harap Amir mengatakannya.
Amir begitu bahagia dengan apa yang dilihatnya. Seminggu yang lalu Ratih memang selalu mengeluh pusing dan lemas. Ternyata Tuhan mengabulkan doanya agar diberikan satu anak lagi. Berkali-kali Amir memeluk dan mengecup kening isterinya. Saking bahagianya Amir tak pernah memperhatikan perubahan raut muka Ratih.
Dua bulan telah berlalu. Usia kandungan Ratih pun memasuki minggu kesembilan. Usia yang belum stabil bagi perkembangan janin di rahimnya. Selama dua bulan ini Ratih selalu mengeluh lemas. Dia hampir tak bisa makan. Apa pun yang ditelan akan segera dimuntahkannya kembali. Ratih tidak tahan dengan segala jenis bau. Bahkan bau sabun mandi pun Ratih tak tahan.
Pusing, mual, lemas dan segala macam rasa tak enak ada di diri Ratih. Namun Dia masih tetap melaksanakan tugasnya sebagai seorang karyawan swasta. Jabatannya sebagai staf administrasi membuatnya semakin merasa tak enak saat berada di kantornya. Ruangan kantornya ditempati oleh lima orang staf.Pak Rudi kepala bagian, Irma, Arin, Wahyu, dan Kris. Irma dan Arin tak pernah lupa menyemprotkan parfum yang begitu feminim wanginya. Tak ketinggalan dua teman laki-lakinya pun demikian. Nyaris setiap hari Ratih harus menahan nafas saat mencium aroma parfum mereka. Berkali-kali pula Ratih ke kamar mandi yang untungnya berada di seberang ruangannya.
Ratih masih terpaku di jendela kamarnya. Hujan mulai menunjukkan tanda-tanda akan reda. Air mata Ratih masih sesekali tampak mengalir. Seminggu yang lalu Ratih opname di Rumah sakit terdekat. Kondisinya memburuk. Badannya begitu lemas. Dua hari Ratih benar-benar tak bisa menelan apa pun. Wajahnya pucat. Dokter kandungan yang selalu memeriksa kondisinya langsung menyarankan untuk istirahat total. Tiga hari Ratih menginap di Rumah sakit As Syifa.
"Tuhan, kenapa aku masih belum bisa menerima kenyataan ini," keluh Ratih sembari menatap kosong rintik hujan yang tinggal satu-satu. Suami dan anaknya belum pulang. Mereka sedang berbelanja kebutuhan sehari-hari di toko swalayan. Mungkin mereka terjebak hujan deras tadi, sehingga harus berteduh dahulu.
Semenjak isterinya hamil, Amir selalu memanjakannya. Apalagi kondisi kesehatan Ratih pada kehamilannya yang ketiga ini tidak begitu baik. Amir dengan senang hati menggantikan posisi Ratih dalam urusan pekerjaan rumah tangga. Terutama memasak. Karena Ratih tak tahan dengan bau dari jenis masakan apapun. Terkadang Ratih harus menutup hidung atau menutup pintu kamar rapat-rapat saat suaminya menggoreng sesuatu atau pun memasak sesuatu. Jika tidak Ratih akan langsung mual dan berujung pada muntah.
Baca bagian sebelumnya di Bagian 1
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Kenyataan apa ya, yg nggak bisa Ratih terima?
BalasHapusRatih kenapa berpikiran begitu?
BalasHapusIya kenyataan APA itu
BalasHapusJenis pertanyaan yang sama seperti para pendahulu, kenapa begitu?
BalasHapus