7 April 2016

Pergantian Kebijakan Ujian Nasional

Kebijakan pada dunia pendidikan senantiasa berubah. Berganti seiring perkembangan waktu dan kebutuhan dalam dunia pendidikan itu sendiri. Mulai dari perubahan kurikulum, proses penerimaan siswa baru, hingga standarisasi kelulusan siswa.


Penilaian hasil pembelajaran siswa yang menjadi tolok ukur lulus tidaknya, selama ini masih didominasi oleh satu aspek saja yakni nilai akademik atau penilaian secara kognitifnya saja. Walaupun dalam beberapa tahun terakhir terjadi pergantian yang cukup sering dalam penentuan kelulusan. Pergantian kebijakan penentu kelulusan siswa ini bukan tanpa dampak. Segala pergantian kebijakan pasti akan membawa dampak mulai dari sekolah, guru, siswa, hingga wali murid.

Tahun 1980  hingga 2002 Pemerintah memiliki kebijakan penentu kelulusan melalui Evaluasi Tahab Akhir Nasional (EBTANAS). Pada rentang tahun ini, seorang siswa akan memiliki Nilai Ebtanas Murni (NEM) sebagai hasil ujian. Penentu kelulusan merupakan gabungan dari NEM dan nilai hasil belajar (raport). Keduanya harus berada di atas nilai enam koma nol untuk dapat memperoleh predikat lulus.

Selanjutnya mulai tahun 2003 hingga 2014, ujian akhir siswa disebut sebagai Ujian Nasional (UN). Nama ini pun berubah-ubah setiap tahunnya. Mulai dari Ujian Akhir Sekolah (UAS), Ujian Akhir Nasional (UAN), Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN), dan Ujian Nasional (UN). Pada dasarnya berbagai istilah tersebut mengacu pada satu kesamaan yakni ujian untuk siswa yang diselenggarakan secara nasional.

Dalam setiap pergantian nama tersebut, penentu kelulusannya pun mengalami perkembangan. Tahun 2003 hingga 2005, kelulusan murni diambil dari nilai ujian. Terdapat angka Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang harus dicapai. Angka SKL pun berkembang dari angka 3,01 pada tahun 2003 sampai angka 5,50 pada tahun 2005. Siswa yang tidak mampu mencapai angka ini, berarti tidak lulus. Bagi mereka yang tidak lulus masih terdapat kebijakan untuk mengikuti ujian ulang.

Kebijakan pun berubah kembali di tahun- tahun berikutnya. Ujian nasional dengan sistem tersebut lebih banyak menjadi momok bagi siswa. Sehingga kebijakan kelulusan pun dirubah, yakni dengan perpaduan 40-60. Empat puluh persen diambil dari nilai raport dan 60 persen dari nilai ujian. Nilai murni ujian digunakan sebagai penentu masuknya siswa ke sekolah jenjang atasnya.

Hingga tahun 2015 kemarin penentu kelulusan masih menggunakan kebijakan ini. Hanya saja angka SKL dapat ditentukan sendiri oleh sekolah. Pengolahan angka kelulusan pun ditentukan sendiri oleh sekolah. Sedangkan nilai murni hasil ujian dijadikan sebagai standarisasi pendidikan secara nasional.

Bergantinya menteri pendidikan pun membawa dampak pada kembali bergantinya kebijakan mengenai ujian nasional. Tahun 2016 ini, ujian nasional lebih digunakan sebagai standarisasi pendidikan, ketimbang penentuan kelulusan siswa. Kelulusan memang masih menggunakan nilai ujian nasional, namun dipadukan dengan nilai-nilai lain yang dicapai siswa.

Bagaimana pun juga upaya standarisasi pendidikan secara nasional belum dapat dilakukan secara maksimal. Apalagi jika tolok ukurnya masih menggunakan ujian nasional. Kesenjangan yang cukup jauh diantara sekolah yang berada di pulau jawa dan luar jawa pun menjadi salah satu penyebab.

Terlepas dari baik buruknya ujian nasional, ada setitik harapan untuk membawa pendidikan Indonesia lebih maju.

3 komentar:

  1. Sedihnya kelulusan anak diukur dari nilai, bukan dari akhlak anak

    BalasHapus
  2. Sedihnya kelulusan anak diukur dari nilai, bukan dari akhlak anak

    BalasHapus