Cek sendiri sudah berapa tahun kejadiannya. Kejadian gerhana matahari total waktu itu masih banyak memunculkan ketakutan dan beraroma mistis. Adanya larangan keluar rumah, serta harus menutup pintu dan jendela menjadikan ibuku yang tengah hamil tua sangat ketakutan. Kokok ayam yang tidak lumrah, serta berbagai bunyi tabuhan menjadikan suasana makin tak mengenakkan. Sementara ibuku hanya berdua bersama kakak yang masih kecil, karena bapak tengah pergi ke masjid melaksanakan salat sunah gerhana matahari. Kelahiranku menjadikan sebuah kebahagiaan bagi bapak dan ibu, sehingga lupa kalau seminggu sebelumnya ketakutan gegara dunia yang tiba-tiba gelap tanpa matahari.
Itu sekelumit kisah kelahiranku. Setelah lahir aku diberi nama Juni Dwi Riyanti. Juni karena aku lahir di Bulan Juni, Dwi artinya anak kedua, dan Riyanti kata bapakku mengambil dari nama kerabatnya yang sukaes, dengan harapan aku pun bisa ketularan suksesnya.
Lahir di kota gudeg, besar di sana, sekolah, menikah, dan sampai sekarang tetap tinggal di kota gudeg tercinta. Sejak masuk sekolah pada jenjang Taman Kanak-Kanak hingga Sekolah Menengah Atas, aku selalu berada di jenjang kelas yang sama dengan satu-satunya saudara kandungku, kakak laki-lakiku.Walaupun mulai tingkat SMP kami berpisah sekolah, namun tetap pada tingkatan kelas yang sama. Perbedaan umur yang hanya lima belas bulan menjadikan kami seperti anak kembar. Alhasil kami masuk sekolah dan lulus SMA pada tanggal yang sama.
Hingga akhirnya kami tidak lagi satu jenjang, karena selepas SMA kakakku tidak mau melanjutkan studi, Dia lebih memilih untuk bekerja. Sedangkan aku lanjut menjadi seorang mahasiswa di salah satu universitas swasta masih di kota gudeg juga.
Masa studiku di kampus terhitung agak cepat, dengan waktu tiga setengah tahun aku lulus dengan indeks prestasi yang cukup membuat kedua orangtuaku duduk dibelakangku pada deretan paling depan. Menyaksikan aku menjadi salah satu dari tujuh mahasiswa dari tujuh fakultas yang ada, diwisuda oleh rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Setengah tahun selepas wisuda dan mendapat ijasah, aku pun mendapat ijabsah dari seorang laki-laki yang secara kebetulan pun tinggal di Jogja. Sejak itu aku pun pindah domisili dari RT 005 ke RT 007. Karena masih di dusun yang sama, maka aku pun tak perlu repot mengurus surat pindah penduduk. Cukup lapor ke Pak ketua RT yang kebetulan adalah bapakku sendiri.
Saat kuliah aku mengambil program studi Pendidikan Agama Islam, Pengambilan jurusan ini bukan melalui pertimbangan yang matang, apalagi lewat salat istiharah. Aku memilih jurusan ini hanya karena melihat bahwa di jurusan inilah bapakku mampu membiayai SPP dan uang sumbangan lainnya. Daftar biaya yang kubaca pada brosur saat penerimaan mahasiswa baru cukup menciutkan nyaliku. Sehingga aku pun memilih jurusan dengan biaya paling rendah.
Sejak masih TK aku bercita-cita menjadi guru. Walaupun bapakku menginginkanku menjadi dosen. Setidaknya setingkat lebih tinggi dari pekerjaan bapakku sebagai guru sekolah dasar (guru SMP atau SMA). Namun ternyata keinginan bapakku tidak terkabul, aku justru mengikuti jejaknya menjadi guru sekolah dasar juga.
Pertama kali "nyemplung" ke dunia pendidikan, aku menjagi guru honor yang sayangnya adalah di sekolah dasar dimana aku bersekolah dulu. Praktis bapak ibu yang dulunya adalah guruku "harus" menjadi teman sekantor. Menjadi guru honor atau guru wiyata bhakti alias guru tidak tetap di sekolah dasar negeri, yang nyaris tanpa gaji kulakoni selama sepuluh tahun.
Selama itu aku pun tetap bersyukur, walaupun gaji dua ratus ribu, tetap bisa membuat dapur mengebul. Akupun tetap bersyukur, walaupun gaji suami yang juga hanya seratus ribu lebih banyak dari gajiku, kami tetap bisa membangun sebuah rumah mungil di atas tanah mertua. Aku pun tetap bersyukur saat harus dengan sabar menerima kenyataan suamiku nganggur selama hampir satu tahun, karena di PHK oleh "the big boss" nya.
Segala sesuatu yang terjadi memiliki arti yang baru ku fahami kini. Jika tidak di berhentikan, mungkin suamiku akan selamanya menjadi karyawan. Namun kini setelah selang dua tahun dari PHK nya, Dia justru menjadi bos sekaligus karyawan di kios foto copi milik kami sendiri.
Pekerjaan utamaku adalah ibu rumah tangga. Selain itu, aku memiliki beberapa pekerjaan sampingan mulai dari sebagai pengajar sekolah formal, pernah menjadi tenaga pengajar sekolah non formal (paket B), penulis buku di jalur non fiksi, penyusun buku pegangan non buku paket yang di kalangan para guru sering dikenal dengan sebutan lks, sedangkan di kalangan orang dinas dikenal dengan sebutan buku liar. Hingga sebagai tukang ketik dan tukang foto copi, walaupun hanya di saat senggang saja. Sampingan yang terakhir ini sekarang lebih banyak ku tinggalkan, sejak diberlakukannya lima hari sekolah, jam pulang menjadi mundur.
Kisah pun berlanjut. Tepat setahun setelah menikah, anak pertamaku lahir, seorang perempuan. Disusul adiknya lima tahun kemudian.perempuan lagi. Dan adiknya lagi satu setengah tahun yang lalu. Seorang laki-laki. Sampai sekarang aku dititipi amanah tiga orang anak.
Keluarga kecilku.
Foto dari album pribadi
Saat ini aku bekerja sebagai seorang guru PAI di Sekolah Dasar di lereng Gunung Merapi. Walaupun berbatasan langsung dengan Kabupaten Sleman tempat tinggalku, Klaten termasuk dalam wilayah provinsi Jawa Tengah. Sedangkan Sleman sendiri termasuk Daerah Istimewa Yogyakarta.
Seratus kilo ku tempuh setiap hari, pulang pergi, dalam waktu sembilan puluh menit, untuk sekali jalan. Bukan dengan mobil atau pun bus AKAP. Karena memang tidak ada jalur bus yang sampai ke wilayah Kemalang, Klaten. Pernah ada satu jalur, namun tak bertahan lama karena kurangnya peminat ditambah dengan kondisi jalan yang berlubang di sana sini. Aku hanya mengandalkan sepeda motor yang baru tahun lalu resmi menjadi milikku, karena memang baru lunas terbayar setelah 36 bulan lamanya kupakai.
Beruntung setahun terakhir ini jalan menuju sekolah tempatku bekerja sudah diperbaiki. Sehingga setidaknya mengurangi waktu tempuh yang tadinya jarak dua kilo tujuh menit, sekarang cukup dua sampai tiga menit. Begitu pun dengan bendungan atau yang lebih dikenal dengan dam sudah pula selesai diperkuat.
Dalam perjalanan, aku melewati tiga dam yakni dam di jalur Kali (sungai) Opak, Kali Gendol dan Kali Woro. Ketiganya berasal dari lereng merapi. Sebelum diperbaiki, selalu merasa was-was ketika hujan lebat terjadi di puncak gunung merapi. Jika itu terjadi maka harus bersiap melewati tiga dam yang tergenang air. Kalau sedang tidak beruntung, maka harus bertemu dengan banjir lahar hujan (lahar dingin). Jika tak berani menerobos, atau memang tak boleh lewat, sebaiknya memutar arah melewati jembatan yang lebih aman. Atau lewat bendungan di bagian bawah yang arusnya sudah mengecil. Setidaknya aku pernah nekat melewati banjir ini tiga kali, itu pun hanya banjir yang tidak deras. Saat arus cukup deras, aku memilih mencari jalan lain yang lebih aman.
Menceritakan kisah hidup tak akan ada habisnya. Sampai berakhirnya kehidupan seseorang. Maka inilah selembar kisah hidupku yang terangkum lewat sentuhan jari di layar empat setengah inci.
Kereeen, alhamdulillah. Aku jadi belajar banyak dari kisah hidup mba ^^.
BalasHapusAlhamdulillah bisa menjadi pelajaran bagi banyak orang
HapusAlhamdulillah bisa menjadi pelajaran bagi banyak orang
HapusSemangat Mba Juni. Kisahmu bisa menginspirasi semua orang.
BalasHapusTerimakasih mbk denik
HapusTerimakasih mbk denik
Hapushebat mb juni..maju terus laskar pengabdi pendidikan...
BalasHapushebat mb juni..maju terus laskar pengabdi pendidikan...
BalasHapusMenginspirasi sekali mba. Aku perlu belajar banyak. Kereeen nan bermanfaat
BalasHapusPengalaman yang luar biasa mba juni. Penuh perjuangan. Takjubbbbb!
BalasHapusSelama masih hidup, perjuangan tak kan habis
HapusSelama masih hidup, perjuangan tak kan habis
HapusWah keren, hanya tiga stengah tahun kuliahnya... aku juga mau mba Juni....
BalasHapusBagi tipsnya... ^_^
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapuscerita hidup mbak juni inspiratif bangett,,Kagum akuu^^
BalasHapus90 menit
BalasHapusKisah hidupnya Inspiring sekali mba.
BalasHapusSampe merinding bacanya ðŸ˜